Anda adalah pengunjung ke :

Sabtu, 15 Juni 2013

Pigmentasi Kuning Antisipasi Masalah Jagung

 DARI banyak pigmen, lutein, canthaxanthin dan astaxanthin adalah yang paling dominan ditemukan pada unggas. Dibandingkan dengan tumbuhan mulai dari mikroorganisma seperti ganggang, jamur sampai tumbuhan tingkat tinggi yang dapat mensintesa carotenoid, maka hewan khususnya unggas sangat tergantung pada asupan pigmen yang diperolehnya lewat pemberian pakan.
 
Sumber utama pigmen yang biasa terdapat dalam pakan adalah jagung kuning dan alfalfa (rumput). Meskipun demikian, kandungan carotenoid dan xanthpohyll dari sumber‐sumber tersebut acapkali sangat bervariasi, tergantung jenis tanaman serta kondisi daerah tempat penanamannya. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa aktivitas pigmennya secara gradual menyusut selama proses penyimpanan. Pigmen zeaxanthin setelah penyimpanan 3 bulan akan mengalami penyusutan sehesar 20 %, lutein (73%) dan caroten (50 %).
 
Dalam kuning telur terdapat berbagai jenis carotenoid dalam tingkatan yang berbeda, dan masing‐masing berjumlah sedikit. Bapocarotenoid 35 %, canthaxanthin 20%, isozeaxanthin 11 % mendominasi pigmen dalam yolk, sementara ‐caroten yang paling sedikit (< 3 %). Tingkat kandungan pigmen dalam yolk menyebabkan variasi warna yolk mulai dan kuning pucat sampai oranye gelap. Yang mana kadar pigmen dideposit dalam yolk sangat tergantung dan kandungan pigmen dalam pakan. Tampilan warna yolk tidak hanya ditentukan oleh kadar pigmen tetapi juga tekanan warna (condong ke kuning — emas — oranye) yang pada dasamya merupakan kombinasi antara pigmen kuning dan pigmen merah.

Sejalan dengan warna yolk, pigmentasi kuning pada permukaan kulit karkas ayam menjadi salah satu faktor preferensi konsumen, meskipun tidak sedalam penilaian orang terhadap yolk. Lutein, zeaxanthin dan cryptoxanthin yang dikandung dalam pakan unggas diketahui efektif untuk meningkatkan pigmentasi kuning kulit broiler sedangkan pigmen neoxanthin dan violaxanthin tidak terlalu efektif terhadap proses pewarnaan pada kulit broiler. Pigmen alami yaitu xanthophyll yang sebagai pigmen kuning diperoleh dan ekstrak bunga marigold (Tagetes erecta) dan xanthophyll sebagai pigmen merah dan ekstrak lombok (Capsicum annumm).
Pigmen sintetik, diantaranya apo‐ester untuk pigmen kuning dan canthaxanthin untuk pigmen merah. Dan penelitian yang menggunakan kedua jenis pigmen (alami dan sintetik) yang ditambahkan dalam pakan dengan dosis tinggi dan rendah, untuk mengukur pengaruhnya terhadap pigmentasi kulit broiler menunjukkan bahwa meskipun pigmen sintetik dicerna lebih baik tetapi pigmen alami lebih efisien dibandingkan pigmen sintetik dalam meningkatkan warna kekuningan pada kulit. Yang kemungkinan disebabkan adanya perbedaan dalam metabolisme deposisi dan kedua tipe pigmen.
 
Proses metabolisme carotenoid berbeda di antara hewan termasuk prioritas jenis carotenoid yang diserap dalam sistem pencernaan. Sebagian besar carotenoid diserap di bagian atas usus halus bersama dengan senyawa lemak lainnya. Pada unggas xanthophyll diserap dalam saluran gastrointestin menyatu dengan lipoprotein densitas rendah (LDL). Kebanyakan mamalia menyerap terutama carotene dan sedikit xanthophyll, sedangkan unggas terutama menyerap xanthophyll. Setelah diserap, caroten masuk dan diangkut dalam sirkulasi darah sebagai kompleks hidrophilik lipoprotein. Untuk selanjutnya dalam jumlah besar disimpan dalam kulit, bulu, jaringan lemak, dan kuning telur.
 
Deposisi carotenoid bisa dalam bentuk yang tidak berubah atau dikonversi lewat berbagai jalur metabolik ke dalam bentuk canthaxanthin, astaxanthin atau guraxanthin. Bentuk xanthophyll diketahui dominan terdapat pada kulit, jaringan lemak, dan kuning telur. B‐caroten setelah diserap akan menjalani proses transformasi menjadi vitamin A sehingga bagi unggas (ayam petelur), ‐caroten tidak mempunyai arti yang nyata untuk membantu pigmentasi kuning pada yolk.
 
Sumber-sumber carotenoid diperoleh unggas dari pakan. Tingkat kandungan xanthophyl dalam pakan berkorelasi erat (meskipun tidak linier) dengan banyaknya deposit pigmen tersebut dalam bagian tubuh unggas, sampai pada tingkat tertentu tidak ada lagi respon meskipun xanthophyll diberikan semakin besar. Jika kadar pigmen pakan meningkat demikian juga kadar pigmen dalam yolk. Untuk menaikkan intensitas warna kuning yolk dan skala 3 ke skala 4 (pada skala kipas Roche Color Fan /RCF) dibutuhkan peningkatan 1 mg/kg suplementasi pigmen kuning, dan skala 4 ke 5 dibutuhkan tambahan 5 mg/kg suplementasi pigmen, dan perbaikan warna yolk dan skala 9 ke 10 harus memberikan tambahan 10 mg/kg pigmen ke dalam pakan.


Tabel 1. Kandungan pigmen dalam bahan baku beserta kisarannya.
Pada umumnya, suplementasi xanthophyll diperoleh dan bahan baku (pigmen alami) dengan menetapkan batas minimum kandungan xanthophyl pakan (> 15 mg/kg). Pada kondisi normal (ayam sehat, bahan haku normal) kombinasi pakan yang dapat memenuhi suplai xanthophyl pada tingkat 15 mg/kg sudah memberikan warna kuning telur di kisaran 5 -7 pada skala RCF.
 
Sejalan dengan upaya mengurangi ketergantungan pada jagung dan mengurangi secara bertahap tingkat penggunaan jagung (dan produk ikutannya) dalam pakan, maka suplai pigmen dalam pakan bisa saja bermasalah. Suplementasi pigmen mutlak dilakukan ke dalam pakan yang berbasis non jagung seperti sorghum/bungkil kedele. Sumber pigmen alami yang biasa digunakan antara lain ekstrak paprika (Capsicum annuum) (xanthophyll merah), ekstrak marigold (xanthophyll kuning), ganggang hijau (asthaxanthin, canthaxanthin), dIl.
 
Kadar pigmen 30 mg/kg meningkatkan warna kemerahan, kekuningan dan skore warna pada RCF baik pakan yang 100 % pigmen nya berasal dan suplementasi marigold, sampai 20 dan 40 % nya disubstitusi dengan pigmen capsicum. Jika dilakukan substitusi 20 % dan 40 % suplementasi tersebut dengan xanthophyll merah dan ekstrak capsicum pada tiap tingkat suplementasi, diketahui tidak memberikan efek nyata dalam pewarnaan (pada shank).
 
Ada kecenderungan meningkatnya intensitas warna kemerahan jika persentase substitusi dengan capsicum ditingkatkan. Penambahan pigmen merah capsicum dengan tidak mengurangi konsentrasi xanthophyl kuning dan marigold akan menghasilkan warna pigmentasi kulit broiler yang lebih dalam. Kelihatannya penambahan xanthophyll merah ke dalam pakan ayam petelur paling efektif untuk meningkatkan warna yolk dan pigmentasi warna kulit broiler.
 
Pada umumnya pakan yang disusun menggunakan jagung, bahan ikutan jagung dan alfalfa normalnya mengandung pigmen lutein dan zeaxanthin. Maka hanya dua pigmen tersebut yang bertanggung jawab terhadap hasil pigmentasi. Mengingat kandungan xanthophyll tersebut sangatlah variatif dan penggunaannya pun relatif kurang efisien, maka kemungkinan timbulnya variasi dalam pigmentasi produk unggas masih cukup besar. Bagi telur yang ditujukan untuk pemanfaatan spesifik maka biasanya ditambahkan sumber-sumber zanthophyll baik dan sumber alami ataupun sintetik. Penggunaan pigmen sintetik canthaxanthin memberikan peluang untuk meningkatkan warna pada produk‐produk unggas. Dosis 6 mg/kg xanthophyll kuning sudah cukup untuk memperoleh skor di atas 10 pada kipas warna RCF. Efektivitas pengaruh pigmentasi antara pigmen alami dan pigmen sintetik adalah setara dengan 1,3: 1 untuk hasil yang kurang lebih sama.
 
Pigmen sintetik berdasarkan aktivitas pewarnaan sesuai dengan karakter pigmen yang dikandungnya digolongkan dalam 3 tipe yaitu pigmen kuning (apocarotenoic ester), merah (canthaxanthin) dan orange (campuran apocarotenoic ester dan canthaxanthin). Dibandingkan bentuk alami yang berasal dan tanaman dengan kandungan serat kasar tinggi, pigmen sintetik yang terbalut gelatin lebih mudah diserap dan tersedia dalam penyerapan saluran pencernaan dan deposisinya pada yolk.
 
Pengaruh pewarnaan antara pigmen kuning dan merah adalah herbeda. Jika penambahan pigmen kuning secara gradual akan meningkatkan intensitas warna kuning (kuning pekat) maka pigmen merah akan mengarah pada warna kuning keemasan. Efek penambahan pigmen pada akhirnya sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain :
  • Kadar total pigmen dalam pakan,
  • Komposisi bahan baku pakan,
  • Faktor genetik dan unggas,
  • Tingkat konsumsi pakan per satuan telur yang dihasilkan,
  • Umur ayam yang berproduksi, dan
  • Status kesehatan dari ayam itu sendiri.

Sumber tulisan karya : Sitharja Wanasuria  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar