Anda adalah pengunjung ke :

Sabtu, 15 Juni 2013

Pola Konsumsi Ransum Pada Unggas

Keberhasilan usaha peternakan unggas salah satunya dapat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor produksi dan pemasaran. Faktor produksi diantaranya adalah aspek pemberian pakan. 

SEBAGAI salah satu komponen produksi biaya pakan merupakan proporsi terbesar, yaitu mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Untuk menekan biaya pakan tersebut dan peningkatan efisiensi produksi, perlu mengetahui pola atau cara bagaimana kebiasaan unggas dalam mengkonsumsi ransum tersebut. 

Menurut Yunianta (1997), produktivitas unggas tidak terlepas dari kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi, dengan mengusahakan pakan tersebut dapat berfungsi secara optimal dan tidak berpengaruh negatif terhadap produktivitas dan kualitas produk (daging dan telur) yang dihasilkan. Pakan ternak yang berisi nutrien diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi, pertumbuhan, produksi, reproduksi dan hidup pokok (maintenance). Nutrien dalam pakan berdasarkan komposisinya, dikelompokkan menjadi enam yaitu air, karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin (Tillman et al., 1991). Pakan mempunyai arti penting dalam proses kehidupan unggas. Kebutuhan energi dan protein pada unggas sangat dtentukan oleh sifat produksi serta kebutuhan untuk hidup pokok (maintenance), yang secara fisiologis diatur oleh pusat kenyang dan lapar, sehingga konsentrasi energi dan protein dalam pakan ikut menentukan kemampuan konsumsi pakan.
 
Say (1987) mengemukakan bahwa unggas mengkonsumsi ransum yang terdiri atas unsur-unsur penting, bertujuan untuk pertumbuhan dan menghasilkan produksi berupa daging dan telur. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan ransum dan peningkatan produksi unggas, pemberian ransurn diupayakan seimbang, lengkap dan sesuai dengan kebutuhan ternak itu sendiri.
 
Mac Donald et al., (1980) mengemukakan bahwa makan merupakan aktivitas kompleks yang meliputi memilih pakan, mengolah pakan, memasukkan pakan ke dalam tubuh melalui proses sensoris yang dimulai dengan mengambil pakan dengan mulut atau paruh, dan mencerna dalam saluran pencernaan.
 
Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor - faktor yang mempengaruhi daya cerna bahan makanan di dalam tubuh unggas sangat perlu diketahui, hal tersebut berguna dalam mempertinggi efisiensi konversi ransum. Faktor-faktor tersebut meliputi suhu, laju perialanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan perbandingan dari zat makanan lainnya. Proses-proses tersebut ada hubungannya dengan aktivitas lapar dan kenyang untuk mengkonsumsi ransum pada unggas.
 
Pusat pengaturan proses makanan pada ternak (mamalia dan unggas) terletak di dalam hipotalamus, dekat dengan selebrum pada otak. Hipotalamus mempunyai dua pusat aktivitas, yaitu pertama pusat rasa lapar (hipotalamus lateral) yang menyebabkan ternak terangsang nafsu makanannya, dan yang kedua pusat rasa kenyang (hipotalamus ventromedial) yang menurunkan nafsu makan .
 
Secara teoritis pengaturan pola makan atau konsumsi ransum pada unggas, menurut Mac Donald (1987) dibedakan atas :

a).Teori Khemostatis.

Yaitu absorpsi nutrien dari saluran pencernaan dan cukupnya nutrien dalam sirkulasi darah merupakan tanda awal untuk merangsang pusat rasa kenyang. Nutrien tersebut meliputi glukosa, asam lemak bebas, peptida, asam amino dan asam lemak bebas sampai di usus halus atau duodenum, otak akan mengeluarkan hormon kolasistokinin yang berakibat penurunan nafsu makan.

b). Teori Thermostatis.

Teori ini menyatakan bahwa ternak akan makan untuk menjaga suhu tubuhnya, dan akan berhenti makan bila telah terjadi hypertemia panas yang dihasilkan selama terjadinya proses digesti dan metabolisme yang disebut heat increment yang merupakan, inisiator pengaturan konsumsi ransum. Kemampuan dan sensitivitas thermoreseptor dipengaruhi oleh pusat suhu (hipotalamus anterior) dan permukaan kulit. Yang menunjang teori ini adalah nafsu makan yang meningkat pada suhu dingin dan menurun pada suhu panas. Suhu di sekitar ternak dapat berpengaruh terhadap nafsu makan dan jumlah konsumsi ransum. Pada suhu lingkungan yang tinggi nafsu makan unggas akan menurun, sedangkan kebutuhan energi meningkat sebagai akibat dari bertambahnya frekwensi pernafasan, kerja jantung dan bertambahnya sirkulasi darah perifer.
 
Menurut Farrell (1979), konsurnsi pakan selain dipengaruhi oleh kandungan energi juga suhu lingkungan. Pada suhu lingkungan yang tinggi nafsu makan ayam akan menurun, akibatnya konsumsi pakan akan berkurang dengan akibat sampingannya berupa defisiensi gizi yang akhirnya akan mempengaruhi produksi. Untuk menanggulangi hal tersebut pemberian pakan dapat diatur sesuai pola dengan volume kebutuhan gizi dan tingkat energinya dapat dimanfaatkan secara menguntungkan.
 
Proses pencernaan
 
Fisiologi pencernaan unggas merupakan proses yang terjadi dari bahan pakan menjadi senyawa yang lebih sederhana untuk diabsorpsi dan dipakai oleh jaringan tubuh. Proses pencernaan bahan pakan pada ternak berlangsung secara mekanik. enzimatik kimiawi dan mikrobia. Proses pencernaan mekanik pada unggas berlangsung karena adanya konsentrasi otot-otot sepanjang saluran pencernaan. Proses pencernaan enzimatik / kimia terjadi dengan melibatkan enzim di sepanjang saluran pencernaan, sedangkan pencernaan mikrobia terutama pada ternak ruminansia besar terjadi pada rumen. Unggas mempunyai saluran pencernaan yang sangat pendek, kira-kira 60 inci, sehingga proses pencernaan berjalan sangat cepat (Pattrick dan Schaible, 1980).
 
Nikel et al., (1977) membagi sistem pencernaan utama terdiri atas mulut, pharinx, oesophagus, lambung, usus kecil, usus besar dan kloaka serta kelenjar pelengkap (asesoris), yaitu hati dan pankreas. Dalam proses pengambilan pakan oleh mulut, suliva unggas di samping menghasilkan Mucin yang berfungsi untuk melicinkan bahan pakan juga mengandung enzim amilase walaupun dalam konsentrase rendah.
 
Produksi saliva pada unggas dewasa sekitar 7-30 ml / jam, enzim amilase yang terdapat di dalamnya mempunyai aktivitas sampai tembolok dan ampela. Di dalam ampela akan teriadi proses pencernaan mekanik pakan berbentuk padat dengan adanya maserasi otot secara ritmik dibantu oleh adanya grit akan diubah menjadi bahan pakan yang berbentuk pasta.
 
Tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi otot ampela sebesar 500 lbs/inci persegi. Lama tinggal pakan di dalam ampela berbeda-beda bergantung kepada bentuk pakan. Pakan yang berbentuk bijian dan berukuran besar serta keras akan bertahan dalam ampela beberapa jam, sedangkan pakan berbentuk mash akan tinggal beberapa menit saja di dalam ampela (Moran, 1982).

 
Sumber : Suryana, Staf Peneliti Balai Pengkajian Teknology Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar