Anda adalah pengunjung ke :

Minggu, 01 Juni 2014

PERANGKAT PERTAHANAN SALURAN PENCERNAAN RUMINANSIA

Dari cara hidup ternak di padang penggembalaan maupun yang di dalam kandang, akan segera terlihat bahwa agen-agen penyakit dapat dengan mudah memasuki tubuh melalui alat pencernaan makanan. Macam dan kualitas pakan di padangan memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat berlindung oleh parasit-parasit sebelum mereka dapat berkembang biak di dalam tubuh hewan.
 
Agar tubuh hewan terhindar dari bahan-bahan yang dapat menyebabkan gangguan, dalam sistem pencernaan individu tersedia perangkat-perangkat pertahanan yang memadai. Pertahanan tubuh dalam sistem tersebut berupa sebagai perangkat mekanik faali yang berupa refleks hipersalivasi, muntah dan peningkatan peristaltik saluran pencernaan hingga terjadi diare. Melalui kedua perangkat yang terakhir bahan penyebab sakit akan dikeluarkan dari tubuh dengan segera. Berbeda dengan pada hewan-hewan kesayangan, alat-alat pengindera cita rasa pada ternak besar, yang reseptornya terdapat pada permukaan lidah, kurang dapat berfungsi hingga bahan makanan yang mungkin mengandung racun, seperti yang terdapat pada kebanyakan tanaman beracun. dengan mudah akan termakan oleh ternak besar di padangan.

Perangkat pertahanan yang unik, yang terdapat di dalam saluran pencernaan, berupa mikroflora yang di dalam kolon seekor sapi mungkin berjumlah 400-500 jenis. Jumlah jasad renik tersebut dalam tiap gram tinja kadang-kadang mencapai 100 milyar. Mikroflora di dalam saluran pencernaan mempunyai fungsi ganda, yaitu :
  1. sebagai sumber energi bagi hewan semang yang ditempatinya.
  2.  sebagai barier pertahanan untuk mencegah masuknya kuman patogen ke dalam sel-sel selaput lendir saluran pencernaan, dan.
  3. sebagai pemacu sel-sel pertahanan tubuh guna membentuk komponen zat penolak atau antibodi.
Selain itu mikroflora juga mampu memacu peristaltik usus hingga kuman-kuman atau parasit lain dapat terdorong ke arah distal dan dikeluarkan dari tabuh (Hirsh, 1980).

Pada anak-anak yang baru dilahirkan saluran pencernaannya masih bersifat steril. Baru beberapa jam setelah kelahiran, setelah saluran pencernaan terbuka bagi masuknya kuman-kuman.
 
Kuman-kuman yang patogen dan tidak patogen akan berkembang di dalam tubuh anak tersebut. Anak-anak hewan spesies tertentu yang baru dilahirkan akan sangat mudah mengalami infeksi, bila anak-anak hewan tersebut tidak mendapatkan kolostrum dari induknya segera setelah dilahirkan.

Karena penurunan kemampuan penyerapan saluran pencernaan anak yang baru dilahirkan, kolostrum dari induk yang diberikan untuk pertama kali setelah anak berumur lebih dari 48 jam, tidak lagi memiliki arti penting dalam proses pemindahan zat penolak secara pasif dari induk kepada anaknya.

Telah diketahui kolostrum mengandung zat penolak dalam jumlah besar, yang terdiri dan protein imunoglubulin IgG, IgA dan 1gM. Anak-anak yang dilahirkan mungkin telah memiliki zat penolak, sama dengan dimiliki oleh induknya pada saat kelahiran. Apabila anak manusia dan kelinci menerima sepenuhnya antibodi dari induknya selama dalam kandungan. anak anjing hanya menerima antibodi sebesar 5% dari semestinya, sedang yang 95% lagi harus diterima melalui kolostrunt Anak-anak kuda, sapi dan babi sama sekali tidak dibekali zat penolak melalui plasenta selama dalam kandungan, hingga perlindungan setelah lahir semata-mata tergantung pada pemberian kolostrum yang berkualitas baik, yang berasal dari induk yang sehat dan telah mampu menolak berbagai penyebab penyakit infeksi. Dengan demikian individu yang baru dilahirkan mendapatkan perlindungan pasif melalui 2 jalan, secara plasental dan intestinal. Secara umum zat penolak yang diterima setelah kelahiran berguna untuk menolak penyakit infeksi umun, atau infeksi sistemik, dan untuk membekali sel-sel selaput lendir saluran pencernaan agar tidak dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakan kuman-kuman penyebab penyakit sistem pencemaan (Hirsh, 1980).

Zat penolak yang diterima dari induk akan sangat merosot jumlahnya dalam waktu lebih kurang 1 bulan. Gangguan pencernaan pada anak-anak sapi sampai dengan umur 3 bulan yang terbanyak berupa diare, yang penyebabnya meliputi :
a) kuman E. coli, Salmonella spp, dan Clostridium perfringens tipe A, B, dan C,
b) virus Rota-virus, Corona-virus dan Bovine viral diarrhea.
(c) protozoa Eimeria sp.,
d) cacing Ascaris sp. dan nematoda lainnya.

Pemberian SnS PRO probiotic solution kiranya sangatlah membantu dalam upaya membentuk system pertahanan disaluran pencernaan sedari dini.

Di negara yang industri peternakannya telah maju angka kematian anak sapi sampai umur 1 bulan biasanya kurang dari 5%. Di Amerika Serikat angka tersebut berkisar antara 3-50%, dengan rata-rata 10%. Kematian anak sapi sampai sejumlah 20% akan menyebabkan penyusunan keuntungan bersih sebesar 38% (Martin dan Wiggins, 1973).

Secara aktif hewan yang mendapatkan rangsangan penyebab sakit, yang bertindak sebagai antigen. sel-sel saluran pencemaannya akan memproduksi IgA dalam jumlah banyak serta membentuk kekebalan seluler. Kemampuan pembentukan zat-zat penolak oleh sel-sel maktofag, limfosit B dan limfosit T demikian besarnya, karena sepanjang saluran pencernaan terdapat simpul-simpul limfe yang mengandung sel-sel tersebut, dalam jumlah yang besar. Selain di dalam sel-sel selaput lendir pencernaan, imonoglobulin yang terbentuk juga akan dapat ditemukan di dalam getah pencemaan yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar khusus. Di dalam getah tersebut imunoglobulin mampu membentuk kompleks antigen-antibodi hingga antigen yang terdapat di dalam makanan tidak dapat diserap oleh usus. Bahan yang mampu menyebabkan penyakit, baik itu kuman ataupun rat-zat beracun, yang lolos dari proses netralisasi di dalam saluran usus akan diserap oleh darah maupun limfe. Dengan melalui vena porta hepatis bahan yang bersifat meracun akan dibawa ke hati untuk mengalami proses detoksikasi, dan seterusnya diekskresikan melalui empedu dan ginjal. Selain itu, sel-sel hati, hepatosit, juga memiliki kemampuan menahan antigen. hingga antigen tersebut menjadi inaktif (Hirsch, 1980).

Proses detoksikasi oleh hati juga berlaku bagi produk-produk metabolisme yang dapat meracun jaringan-jaringan tubuh lain. Kelebihan nitrogen amino yang tidak berguna akan diubah menjadi ureum. Asam urat mengalami oksidasi menjadi allantoin, sedang asam bensoat akan dikonjugasikan dengan glysin menjadi asam hippurat, yang selanjutnya oleh darah dibawa ke ginjal untuk diekskresikan bersama kemih.

Senyawa-Senyawa toksik yang tidak diekskresikan melalui ginjal akan diproses oleh sel-sel makrofag hati, sel-sel Kupffer. Protein-protein hemoglobin, mioglobin dan sitokrom, oleh hepatosit akan diubah menjadi bilirubin, untuk selanjutnya dikonjugasikan menjadi bilirubin diglukuronida. Selanjutnya konjugat tersebut diekskresikan ke dalam empedu dan kemudian diekskresikan ke dalam usus. Kegagalan hati dalam fungsi detoksikasi dan ekskresi akan mengakibatkan kenaikan kadar di dalam darah, hingga mengakibatkan gejala-gejala sarafi, esefalopati hepatik, atau tertimbunnya bahan-bahan yang dapat merangsang fotosensitisasi, misalnya phylloerithrin, hingga akan terjadi fotosensitisasi hepatik (Kidder dan McGullagh, 1980).

Apabila hati mengalami gangguan, gejala-gejala klinis mungkin baru nampak setelah sebagian besar hati (kadang sampai 70%) mengalami proses patologik, yang mungkin berupa radang, degenerasi. sirosis ataupun nekrosis. Gambaran klinik gangguan tersebut dapat bervariasi, mungkin berbentuk sebagai ikterus, busung air, gangguan pencernaan, gangguan saraf dan sebagainya. Untuk mengenal gangguan hati dapat dilakukan berbagai uji hati, yang berupa penentuan uji ikterus: uji Van den Berg, uji aktivitas enjima serum, uji resistensi atau ekskresi rat warna, uji ultrasonografi, atau USG, dan uji biopsi. Nllai ikterus pada hewan-hewan sapi dan domba kurang memiliki anti praktis, sedang niIai normal kuda jauh lebih tinggi daripada nilai normal hewan-hewan lain, bahkan untuk berbagai bangsa sapi saja, nilai tersebut juga berbeda-beda.

Uji aktivitas enjima yang paling banyak dilakukan adalah SOPT, SOOT, gamma-GT, SD, SOD dan SOCT. Kenaikan nilai SOOT hanya memiliki arti signifikan untuk anjing dan kucing. Zat warna yang paling sering digunakan dalam uji retensi adalah bromosulfophthalein (BSP). Karena sulitnya menentukan secara tepat berat tubuh hewan-hewan besar, retensi BSP ditentukan dengan menetapkan waktu paroh (T½) yang dapat diperoleh dengan jalan memeriksa kadar BSP dalam seperangkat sera yang diambil pada waktu yang berbeda-beda. Uji USO hati kecuali untuk hewan-hewan percobaan dan kesayangan tidak dilakukan. Untuk uji biopsi, meskipun mudah dilakukan, tetapi agak sulit untuk menentukan lokasi jaringan yang mengalami lesi.


sumber :
(Ilmu Penyakit Ternak II – Subronto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar