Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk peternakan menyebabkan penggunaan obat-obatan untuk pencegahan dan perawatan/perlakuan terhadap penyakit ternak menjadi semakin penting agar daging, telur, dan susu dapat diproduksi secara efisien. Namun, penggunaan antibiotik atau bahan kimia dalam proses produksinya mengakibatkan terjadinya residu antibiotic didalam produk-produk peternakan, yang memberikan dampak negative terhadap kesehatan.
Pemanfaatan antibiotik pada level sub-terapi atau karena kurang memperhatikan aturan penggunaannya telah terbukti mengakibatkan adanya residu antibiotik dalam produk peternakan dan berkembangnya mikroba yang resisten dalam tubuh ternak maupun tubuh manusia yang mengkonsumsinya (Jin et al., 1997; Lee et al., 2001).
Untuk mempertahankan efisiensi produksi ayam pedaging disatu sisi dan menyediakan produk peternakan yang aman untuk dikonsumsi, perlu diusahakan alternatif penggunaan antibiotik atau obat-obatan dalam industri peternakan.
Produk Probiotik merupakan salah satu produk non kimia yang banyak menjadi acuan dan referensi banyak peneliti, pemerhati dan praktisi peternakan. Saat ini telah banyak beredar produk probiotik, salah satu diantaranya yang telah banyak beredar di beberapa kawasan sentral peternakan di Indonesia antara lain Blitar, Kediri, Tulungagung, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, beberapa daerah di Jawa Tengah, Kalimantan dan lain-lain adalah SnS PRO probiotik solution.
Beberapa penelitian pada broiler menunjukkan bahwa penambahan probiotik dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, menurunkan konversi pakan dan mortalitas.
Kim et al. (1988), menunjukkan bahwa penambahan probiotik yang terdiri atas Lactobacillus sporegenes pada ayam broiler yang mengandung jagung yang agak berjamur masih meningkatkan pertambahan bobot badan.
Penelitian yang dilakukan oleh Wiryawan (unpublished) menunjukkan bahwa suplementasi probiotik Yeast Sac (Saccharomyces cerevisiae) pada broiler yang bahan pakan utamanya gandum menyebabkan peningkatan bobot badan sebanyak 38.7% pada umur 21 hari dan 18% pada umur 42 hari jika dibandingkan dengan kontrol.
Variasi yang ditimbulkan akibat pemberian probiotik pada broiler kemungkinan berhubungan dengan perbedaan strain bakteri atau mikroba yang diberikan dan konsentrasi mikrobanya.
Ada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan penggunaan antibiotik dibandingkan probiotik tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan. Tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata ini mungkin disebabkan karena ayam diberi pakan yang sama dengan kandungan protein dan energi yang sesuai dengan kebutuhan.
Anggorodi (1985) menyatakan bahwa jumlah konsumsi ransum sangat ditentukan oleh kandungan energi dalam ransum. Apabila kandungan energi dalam ransum tinggi maka konsumsi pakan akan turun dan sebaliknya apabila kandungan energi ransum rendah, maka konsumsi pakan akan naik guna memenuhi kebutuhan akan energi. Namun dibeberapa penelitian yang lain menunjukkan bahwa pemberian probiotik menyebabkan peningkatan konsumsi pakan sebanyak 2,6% lebih tinggi dan diduga perbedaan ini akan menjadi signifikan jika jumlah ayam (sampel) yang digunakan ditingkatkan dan ransum yang digunakan bukan ransum komersial,
Meskipun tidak berbeda nyata tetapi ayam yang diberi probiotik pertambahan bobot badannya 4.6% lebih tinggi dari pada ayam yang tidak diberi probiotik. Perbedaan pertambahan bobot badan ini erat kaitannya dengan lebih tingginya konsumsi pakan dan kemungkinan karena peningkatan daya cerna zat gizi akibat pemberian probiotik. Mikroba lipolitik, selulolitik, lignolitik, dan mikroba asam lambung yang terkandung dalam probiotik diduga telah berperan aktif dalam meningkatkan kecernaan zat gizi.
Nahashon et al. (1994) menunjukkan bahwa suplementasi kultur Lactobacillus pada pakan yang terdiri atas jagung, bungkil kedelai dan gandum meningkatkan konsumsi pakan, retensi lemak, protein, kalsium, cuprum, dan mangan pada ayam petelur.
Pemanfaatan antibiotik pada level sub-terapi atau karena kurang memperhatikan aturan penggunaannya telah terbukti mengakibatkan adanya residu antibiotik dalam produk peternakan dan berkembangnya mikroba yang resisten dalam tubuh ternak maupun tubuh manusia yang mengkonsumsinya (Jin et al., 1997; Lee et al., 2001).
Untuk mempertahankan efisiensi produksi ayam pedaging disatu sisi dan menyediakan produk peternakan yang aman untuk dikonsumsi, perlu diusahakan alternatif penggunaan antibiotik atau obat-obatan dalam industri peternakan.
Produk Probiotik merupakan salah satu produk non kimia yang banyak menjadi acuan dan referensi banyak peneliti, pemerhati dan praktisi peternakan. Saat ini telah banyak beredar produk probiotik, salah satu diantaranya yang telah banyak beredar di beberapa kawasan sentral peternakan di Indonesia antara lain Blitar, Kediri, Tulungagung, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, beberapa daerah di Jawa Tengah, Kalimantan dan lain-lain adalah SnS PRO probiotik solution.
Beberapa penelitian pada broiler menunjukkan bahwa penambahan probiotik dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, menurunkan konversi pakan dan mortalitas.
Kim et al. (1988), menunjukkan bahwa penambahan probiotik yang terdiri atas Lactobacillus sporegenes pada ayam broiler yang mengandung jagung yang agak berjamur masih meningkatkan pertambahan bobot badan.
Penelitian yang dilakukan oleh Wiryawan (unpublished) menunjukkan bahwa suplementasi probiotik Yeast Sac (Saccharomyces cerevisiae) pada broiler yang bahan pakan utamanya gandum menyebabkan peningkatan bobot badan sebanyak 38.7% pada umur 21 hari dan 18% pada umur 42 hari jika dibandingkan dengan kontrol.
Variasi yang ditimbulkan akibat pemberian probiotik pada broiler kemungkinan berhubungan dengan perbedaan strain bakteri atau mikroba yang diberikan dan konsentrasi mikrobanya.
Ada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan penggunaan antibiotik dibandingkan probiotik tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan. Tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata ini mungkin disebabkan karena ayam diberi pakan yang sama dengan kandungan protein dan energi yang sesuai dengan kebutuhan.
Anggorodi (1985) menyatakan bahwa jumlah konsumsi ransum sangat ditentukan oleh kandungan energi dalam ransum. Apabila kandungan energi dalam ransum tinggi maka konsumsi pakan akan turun dan sebaliknya apabila kandungan energi ransum rendah, maka konsumsi pakan akan naik guna memenuhi kebutuhan akan energi. Namun dibeberapa penelitian yang lain menunjukkan bahwa pemberian probiotik menyebabkan peningkatan konsumsi pakan sebanyak 2,6% lebih tinggi dan diduga perbedaan ini akan menjadi signifikan jika jumlah ayam (sampel) yang digunakan ditingkatkan dan ransum yang digunakan bukan ransum komersial,
Meskipun tidak berbeda nyata tetapi ayam yang diberi probiotik pertambahan bobot badannya 4.6% lebih tinggi dari pada ayam yang tidak diberi probiotik. Perbedaan pertambahan bobot badan ini erat kaitannya dengan lebih tingginya konsumsi pakan dan kemungkinan karena peningkatan daya cerna zat gizi akibat pemberian probiotik. Mikroba lipolitik, selulolitik, lignolitik, dan mikroba asam lambung yang terkandung dalam probiotik diduga telah berperan aktif dalam meningkatkan kecernaan zat gizi.
Nahashon et al. (1994) menunjukkan bahwa suplementasi kultur Lactobacillus pada pakan yang terdiri atas jagung, bungkil kedelai dan gandum meningkatkan konsumsi pakan, retensi lemak, protein, kalsium, cuprum, dan mangan pada ayam petelur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar