Anda adalah pengunjung ke :

Selasa, 25 September 2018

.:: CLOSTRIDIAL NECROTIC ENTERITIS ::.

CLOSTRIDIAL NECROTIC ENTERITIS

Kejadian necrotic enteritis (NE) yang disebabkan Clostridium perfringens tipe A dan C bukan merupakan masalah baru dan telah banyak ditemukan pada ternak unggas, khususnya ayam pedaging dan petelur di Indonesia ataupun di seluruh dunia.

Akan tetapi, kejadian penyakit ini sering kurang dikenali dan kurang diperhitungkan petemak. Clostridium perfringens sebenarnya merupakan bakteri normal yang ada dalam saluran pencernaan ayam sehat, namun dengan adanya faktor yang mengganggu keseimbangan sistem pencernaan ayam, kuman ini dapat berproliferasi, memproduksi toksin dan menimbulkan penyakit. Proliferasi Cl. perfringens serta dihasilkannya toksin alfa dapat dipicu oleh komponen yang berada dalam pakan yang diikuti inaktifasi enzim pencernaan, dan berakibat menurunkaa kemampuan degradasi toksin . Manifestasi penyakit ini pada dinding usus berupa lesi haemorrhagis sampai nekrose, cholangiohepatitis dan peningkatan kematian ayam. Sejumlah faktor predisposisi bagi necrotic enteritis adalah faktor fisik yang merusak mukosa usus (koksidiosis, cacing dan sebagainya), komposisi pakan, perubahan kadar nutrisi atau tingkat protein pakan, dan penyakit imunosupresi yang menurunkan resistensi terhadap infeksi usus . Konversi pakan yang tidak seimbang, kurangnya berat karkas dan meningkatnya persentase karkas yang diafkir merupakan akibat utama pencrunan produksi akibat necrotic enteritis. Sedangkan necrotic enteritis subklinis telah diindikasikan mengakibatkan konversi pakan yang tidak seimbang dan kekerdilan. Hingga saat ini prevalensi necrotic enteritis cenderung meningkat, dan merupakan penyakit yang serius dengan menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup nyata. 

Pencegahan penyakit membutuhkan kesungguhan usaha untuk menjaga keseimbangan dari semua faktor yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap timbulnya penyakit. Antibiotik, prebiotik, PROBIOTIK (competitive exclusion), preparat enzim, pemberian mineral dan vitamin merupakan bahan dan cara-cara untuk mencegah necrotic enteritis.

GEJALA DAN DIAGNOSIS
  • Gejala klinis NE yang umum dilihat adalah depresi, penurunan nafsu pakan, malas bergerak, diare dan berbulu kusam (WAGES dan OPENGART, 2003).
  • Gejala klinis biasanya berlangsung singkat, seringkali ayam mati secara mendadak. 
  • Pada kasus yang biasa terjadi, kerusakan terutama ditemukan di daerah usus kecil umumnya jejunum dan ileum, tetapi kelainan pada sekum dapat juga dijumpai . Usus sering menjadi rapuh dan berisi gas . Mukosa dilapisi oleh lapisan pseudomembran yang berwarna kuning, kecoklatan atau hijau. Bercak perdarahan dapat pula ditemui .
  • Secara eksperimental, penebalan mukosa duodenum dan jejunum dapat ditemui pada 3 jam setelah inokulasi Cl. perfringens (AL SHIEKHLY dan TRUSCOTT, 1977a) . Setelah 5 jam, terjadi nekrosis mukosa usus yang akan berkembang menjadi fibrinonecrotic enteritis yang parah dengan pembentukan membran diphteritic .
  • Secara Histopatologik, ada kolonisasi Cl. Perfringens pada epitel vili usus yang disertai nekrose koagulatif dari mukosa. 
  • Secara Ultramikroskopik, perubahan utama yang terlihat pada membran set lumen adalah hilangnya vesikulasi dan kehilangan rhikrovili secara keseluruhan. Perubahan ini terutama terjadi pada daerah mukosa usus yang mengalami nekrose dan berhubungan erat dengan tipe Cl. perfringens yang menginfeksi. Adanya hidrolisis dari membran sel epitel oleh toksin bakterial juga penting dalam patogenesis NE (KALDHUSDAL et al., 1995).
  • Berdasarkan sejarah terjadinya penyakit, peningkatan kematian yang mencolok, gejala klinis, kelainan patologik yang ditemukan seperti kerusakan mukosa usus, hepatitis dan hasil isolasi agen penyebab di laboratorium dapat didiagnosis terjadinya NE pada hewan. Dalam kasus ini kita juga harus melakukan penyidikan tentang predisposisi terjadinya penyakit ini .
  • Pada kasus NE subklinis, tidak terjadi kematian ayam dalam jumlah yang mencolok, tetapi terjadi diare pada sebagian ayam yang terserang, pertambahan berat badan yang tidak normal serta adanya feed conversion ratio yang buruk. Dalam hal ini, NE, subklinis dapat didiagnosa dengan peningkatan jumlah Cl. Perfringens dalam jumlah besar pada usus.
  • Dari gejala penyakit utama yang jelas dapat diamati adalah diare dan Mortalitas. Berikutnya adalah litter yang basah, ayam berkerumun, asupan pakan atau air yang tidak normal, dan bulu yang kusam (VAN DERSLUIs, 2000b).
  • Dari hasil pengamatan gejala klinis dan perubahan patologis yang terjadi, konfirmasi diagnosis dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi yaitu dengan mengisolasi dan mengidentifikasi agen penyebab dari daerah kerusakan usus yang ditimbulkan . Toksin alfa biasanya dapat dideteksi dari usus ayam yang terserang NE (VAN DER SLUTS, 2000b; NATALIA et al., 2003). Penyakit yang harus dibedakan dari NE adalah Ulcerative Enteritis oleh Clostridium colinum dan koksidiosis (WAGES dan OPENGART, 2003) .
PENGENDALIAN PENYAKIT

Untuk pengendalian masalah NE pada ayam, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Manajemen kelembaban alas kandang Praktek manajemen kandang yang baik harus dilakukan. Sangat penting menjaga kebersihan kandang, dan melakukan desinfeksi sebelum penempatan hewan. 
  2. Desinfeksi kandang dilakukan dengan desinfektan yang dikombinasikan dengan yang dapat membunuh oocyst dari koksidia dan yang dapat melakukan penetrasi dinding luar organisme yang biasanya sangat tahan terhadap desinfektan pada umumnya. 
  3. Penggunaan desinfektan virucidal, bactericidal yang merupakan desinfektan berspektrum luas dapat efektif terhadap virus, bakteri dan fungi, sehingga akan dapat mengurangi pengaruh yang lebih buruk dari infeksivirus yang bersifat imunosupresif (LISTER, 1996).
  4. Harus juga dijaga kelembaban litter atau alas kandang.
  5. Semua faktor predisposisi harus dikendalikan .
  6. Penggunaan dan pemberian SnS PRO probiotic solution dan beberapa jenis Enzim akan sangat membantu dalam upaya pencegahan terhadap kasus necrotic enteritis.
  7. Jangan melakukan perubahan pakan secara mendadak baik komposisi maupun bentuk pakan.
  8. Penentuan faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya penyakit akan menentukan pengobatan yang harus dilakukan (NORTON, 2000).
  9. Penggunaan antibiotik dan resistensi terhadap antibiotik Untuk pengobatan penyakit, harus dijamin penggunaan antibiotik yang tepat.
  10. Selama ini, penanggulangan NE dilakukan dengan pemberian berbagai macam antibiotika seperti basitrasin, penisilin dan lincomisin dari dosis rendah (untuk pencegahan) dan dosis tinggi (untuk pengobatan) .
  11. Penggunaan antibiotika dalam pakan untukpencegahan penyakit telah banyak menimbulkan pertentangan pendapat yang ditimbulkannya . Dari laporan kasus di lapangan, sudah sering ditemukan Cl. perfringens yang resisten terhadap berbagai antibiotik seperti bacitracin, lincomycin dan sebagainya (DE VRIESE et al ., 1993 ; KONDO, 1988; WATKINS et al., 1997). Oleh sebab itu, banyak negara-negara Asia dan Eropa telah melarang penggunaan antibiotik untuk pencegahan penyakit pada ayam (NORTON, 2000; NEWMAN, 2000).
  12. Adanya resistensi bakteri penyebab terhadap antibakterial dalam pakan dan preparat antikoksidia merupakan salah satu alasan kompleksnya pengendalian penyakit ini dan membutuhkan kehatihatian dalam memilih antibiotik yang tepat untuk pengendalian infeksi bakteria . 
Prebiotik

Prebiotik adalah gula-gula yang dapat difermentasi, dan dimasukkan dalam pakan atau air minum ayam untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan. Contoh prebiotik antara lain adalah laktosa dan oligofruktosa . Ayam yang dalam pakannya diberi suplemen laktosa, secara nyata menunjukkan jumlah Cl. perfringens yang rendahdalam isi sekumnya dibanding ayam yang tidak diberi suplemen laktosa . Laktosa dalam pakan menurunkan kejadian NE pada ayam. Oligofruktosa dan inulin dapat menstimulasi jumlah Bifidobacterium secara in vitro, dan populasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli dan Clostridium tetap ada dalam jumlah rendah (KALDHUSDAL,2000a) .

Probiotik (Competitive exclusion)

Pemberian kultur hidup mikroorganisme seperti yang terdapat dalam SnS PRO probiotic solution yang pada anak ayam untuk mengatasi kolonisasi bakteri pathogen diistilahkan sebagai competitive exclusion . Cara ini telah digunakan sebagai usaha untuk mengatasi masalah NE (KALDHUSDAL et al ., 2001 ; MORNER et al., 1999). Penggunaan atau pemberian kultur hidup mikroorganisme untuk memperbaiki performans ayam telah dilakukan dan memberikan hasil yang sangat baik (APAJALAHTI, 1999; KALDHUSDAL et al., 200l). Pemberian mikroflora tersebut dapat efektif untuk mengurangi pengaruh buruk dari NE pada ayam.

Secara umum ada 4 mekanisme umum yang terjadi di dalam tubuh ayam dengan penggunaan probiotik, yaitu ; 
  • Tercipta suasana usus yang tidak nyaman untuk bakteri patogen, 
  • Eliminasi situs reseptor bagi bakteri patogen, 
  • Produksi dan sekresi metabolit antimikroba, dan 
  • Kompetisi nutrisi essential.  

-        Kondisi pH usus sangat mempengaruhi kelangsungan hidup sejumlah mikroorganisme pathogen.
-        Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) oleh mikroflora normal usus pada pH<6 dan="" dapat="" enterobacteriaceae.="" mengurangi="" populasi="" salmonella="" span="">
-        Kondisi anaerob dalam sekum sangat baik untuk pertumbuhan Bifidobacterium. Bakteri ini merupakan mikroflora normal usus yang menghasilkan VFA (acetic, butyric, propionic, asam laktat), dan substansi antimicrobial yang efektif membasmi berbagai bakteri pathogen.
-        Pemberian antibiotik dalam jangka waktu panjang dapat mengganggu kelangsungan hidup mikroflora normal usus sehingga menurunkan produksi VFA dan menyebabkan suasana usus menjadi basa.
-        DOC biasanya belum mampu memproduksi VFA secara optimal, sehingga penambahan probiotik sangat penting dilakukan.
-        Polisakarida pada dinding sel bakteri penting untuk perlekatan dengan epitel usus. Bakteri asam laktat akan menempati reseptor-reseptor di epitel usus ayam sehingga secara efektif akan mencegah perlekatan bakteri patogen dengan epitel usus. Akibatnya, bakteri patogen tidak dapat menempati situs reseptor di usus dan tidak mendapat asupan nutrisi karena kalah kompetisi oleh bakteri probiotik. Oleh sebab itu, harus diberikan probiotik dalam jumlah yang cukup agar dapat menghambat bakteri pathogen secara efektif.
-        Mikroorganisme probiotik memproduksi substansi antimicrobial yang dapat membunuh patogen dan berkompetisi dengan bakteri patogen dalam menempati situs reseptor di saluran pencernaan.
-        Inhibitory product yang dihasilkan oleh probiotik antara lain asam lemak terbang (VFA) rantai pendek (lactic, propionic, butyric, acetic acid), hydrogen peroksida, dan diacetyl.
-        Selain itu probiotik menghasilkan metabolit berupa Bacteriocin yaitu sejenis protein dihasilkan oleh bakteri probiotik dan bersifat lethal untuk bakteri patogen.
-        Bakteri asam laktat, Lactobacillus memproduksi sejumlah inhibitory product yaitu Nisin dan Reuterin.
-        Nisin bekerja dengan menginduksi pembentukan pori-pori sehingga merusak struktur membrane sel bakteri patogen.
-        Reuterin adalah produk metabolisme gliserol yang dihasilkan oleh Lactobacillus reuteri, memiliki spectrum luas dalam membunuh mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan ayam.
-        Menurut beberapa peneliti, probiotik tidak hanya berperan menjaga kesehatan saluran pencernaan tapi juga berperan meningkatkan sistem kekebalan dan mengurangi stress pada ayam.

Preparat enzim

Pemberian preparat enzim jika digunakan,pakan ayam berbahan gandum dan biji-bijian sejenis dapat mengurangi atau menghilangkan sifat antinutritif dari polisakarida yang kental . Preparat enzim mengandung beberapa karbohidrat, lipase dan protease telah dilaporkan dapat mengurangi kejadian NE. Tetapi hasil uji tantang pada penggunaan pentosanase pada pakan berbahan gandum tidak berpengaruh terhadap tingkat mortalitas akibat NE. Mungkin hal ini disebabkan pengaruh beberapa faktor seperti macam kandungan pakan, cara tantangan dan kondisi lingkungan (KALDHUSDAL, 2000b) . Penggunaan xylanase berpengaruh pada mikroflora sekum ayam pedaging . Enzim ini dapat memperbaiki status nutrisi pakan. Ternyata enzim ini menambah populasi bakteri seperti Peptostreptococcus, Bacteroides, Propionibacterium, Eubacterium dan Bifidobacterium, tetapi mengurangi jumlah bakteri Clostridium, Enterobacteriaceae dan Campylobacter (APAJALAHTI, 1999).

Mineral dan vitamin

Pemberian pakan yang mengandung 50 ppm zinc dengan 1000 ppm diberikan sebagai zinc sulphate berpengaruh terhadap kejadian NE. Dalam penelitian KALDHUSDAL (2000b), jika ayam ditantang dengan E. brunetti dan Cl. perfringens, kejadian NE lebih tinggi terjadi pada ayam yang tidak mendapatkan suplemen zinc dibandingkan ayam yang mendapatkan suplemen

zinc. Ion zinc, secara spesifik terlibat dalam hidrolisis katalitik dari substrat toksin alfa Cl. perfringens, yang secara in vitro dipengaruhi oleh kadar zinc dalam medium tumbuh. Kepekaan toksin alfa secara in vitro terhadap degradasi oleh tripsin sebagian dapat dicegah pada konsentrasi zinc di atas 800 ppm. 

Penambahan vitamin A, 133, E, K3, C dan selenium pada pakan ayam pedaging tidak secara nyata mempengaruhi jumlah CL perfringens dalam sekum, demikian juga penambahan para-amino benzoic acid atau betaine.  (sp)

dari berbagai sumber





readmore »»  

Sabtu, 22 September 2018

.:: FEED INTAKE YANG MERESAHKAN ::.

.:: FEED INTAKE YANG MERESAHKAN ::.


Jika kepada peternak ditanyakan ,”Apakah target mereka beternak ayam?”, mungkin saja jawabnya adalah produktivitas yang tinggi. Bagi peternak petelur bisa berupa eggmass per hen house (Kg/HH), bagi peternak broiler mungkin pencapaian berat badan pada umur tertentu, yang semuanya dikaitkan dengan FCR. 

Efisiensi Penggunaan Pakan (FCR) seringkali dipakai peternak sebagai acuan untuk menghitung biaya produksi, namun hanya berpedoman pada FCR tidak mencerminkan biaya produksi total dan tidak cukup akurat, karena pada pencapaian produksi yang tidak sama FCR bisa saja sama. FCR 2.0 bisa saja diperoleh dari Feed Intake 10 kg dan produksi telur 5 kg atau feed Intake 8 kg Namun produksi telur 4 kg. Dari keduanya jelas biaya asal pakan (income over feed cost) adalah sama namun biaya totalnya pasti berbeda, karena biaya produksi (diluar pakan) di bagi 10 kg dan dibagi 8 kg adalah berbeda. Masih ada memang, peternak yang mengakali feed intake atau membatasi feed intake untuk memperoleh FCR yang rendah dan tidak menyadari dampaknya pada ayam mereka kemudian hari. Namun yang lebih memprihatinkan adalah sedikit sekali peternak yang terusik dan kemudian peduli terhadap rendahnya feed intake pada awal masa pemeliharaan, terutama pada minggu pertama dan kedua masa hidupnya. Dan dari sedikit yang peduli itu, lebih sedikit lagi yang mengambil tindakan dengan benar : segera melengkapi perlengkapan yang diperlukan, memperbaiki kembali sistem kerja (SOP) dan lainnya. 

Feed intake atau konsumsi pakan ditujukan untuk memberikan kepada ayam asupan nutrisi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan umurnya. Banyak faktor yang mempengaruhi feed intake, namun yang ingin dibicarakan dalam tulisan ini adalah pengaruh feed intake yang rendah terhadap perkembangan ayam itu sendiri, terutama pada awal masa hidupnya.

Seperti sudah diketahui umum, bahwa asupan nutrisi itu berupa karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral, disamping itu ada zat lain yang ditambahkan ke dalamnya untuk tujuan tertentu misalnya Coccidiostat, untuk melindungi ayam terserang coccidiosis. Karbohidrat dan lemak, terutama dibutuhkan sebagai sumber energi, sedangkan protein terutama untuk pertumbuhan.

Dalam keadaan normal bila feed intake cukup, maka masing-masing bisa berjalan sesuai dengan fungsinya, ketika feed intake berkurang , maka akan terjadi beberapa masalah :

1. “Asupan dari komponen-komponen nutrisi tersebut di atas berkurang”, karena volume berkurang otomatis volume masing-masing komponennyapun berkurang, sehingga ayam kekurangan energi dan protein untuk pertumbuhan. 

2.”Energi adalah hal utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu”, melampaui kebutuhan terhadap hal lainnya. Kekurangan energi asal karbohidrat, terutama untuk otak, syaraf dan sel-sel darah merah tidak bisa digantikan oleh lemak, sehingga terjadi inefficiensi penggunaan protein dalam pakan karena sebagian akan dikonversikan untuk menghasilkan energi mengabaikan fungsinya untuk pertumbuhan. (Dr. Sunita Almatsier,2001) 

3. “Kekurangan energi asal karbohidrat” juga menyebabkan terjadinya oksidasi asam lemak yang tidak sempurna, sehingga menghasilkan bahan-bahan keton, berupa asetoasetat, aseton dan asam beta-hidroksi-butirat yang dibentuk didalam hati dan dikeluarkan melalui urine dengan mengikat ion natrium, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan Natrium dan dehidrasi. (Dr. Sunita Almatsier, 2001) Pengaruhnya terhadap ayam  (1). “Pertumbuhan Ayam menjadi terhambat”, karena : berkurangnya volume protein. Ada sebagian protein yang dikonversikan menjadi energi. Feed intake yang kurang pun dapat menyebabkan asupan asam lemak essensial seperti asam linoleat dan linolenat berkurang,. Jika kandungan asam linoleat dan turunannya (asam arakidonat) dalam membran mitokondria mengecil terjadi penurunan efisiensi produksi energi melalui oksidasi asam lemak dan penurunan efisiensi fosforilasi oksidatif pada tingkat sel. Perubahan-perubahan pada tingkat sel ini menyebabkan kemampuan dalam mengubah energi makanan menjadi energi metabolik yang diperlukan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan fungsi tubuh berkurang (2). “Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Organ Tubuh”. Akibat lanjutan dari kekurangan protein untuk pertumbuhan adalah terhambatnya perkembangan organ saluran pencernaan yang dimulai sejak adanya makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan sampai umur 14 hari yang meliputi panjang dan diameternya, villi-villi jejunum dan ileum sampai umur 10 hari, villi-villi duodenum hanya 4 hari saja. Kegagalan perkembangan saluran pencernaan akan berdampak besar pada absorbsi nutrisi periode selanjutnya. Disamping organ pencernaan paru-paru pun mencapai pertumbuhan optimalnya pada umur 14 hari dilanjutkan dengan perkembangan sistem pembuluh darah dan pertahanan tubuh.  (3) “Pengaruhnya Pada Sistem Immun” Pada umumnya sudah diketahui bahwa Antibodi (Ab) adalah protein gamaglobulin yang mempunyai aktivitas immun atau antibodi disebut Immunoglobulin (Ig) yang disusun dalam ikatan rantai polipeptida. Ig ini mempunyai berat molekul yang berbeda-beda menurut jenisnya seperti IgM, IgG, IgA,IgE dan Ig D yang semuanya merupakan fraksi-fraksi protein.
Antibodi yang berperan dalam sistem kekebalan, dihasilkan oleh sel-sel B muda, yang di dalam tubuh jumlahnya terbatas (sekitar sepuluh pangkat tujuh). Sebuah sel B dapat membuat hanya satu jenis Ab dengan satu spesifisitas tertentu, sehingga perlu banyak sel-sel B mengenali sekian banyak antigen di dalam lingkungannya. Pada infeiksi berat atau infeksi campuran diperlukan banyak protein untuk dimobilisasi oleh “ endoplasmic reticulum” di dalam sel-sel plasma yang berasal dari sel-sel B masak yang berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma. Sel-sel B masak ini tidak menghasilkan Ab, tetapi mampu berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma akibat adanya rangsangan antigen. (D.M.Weir:Aids to Imunology, 1988). Bahkan Antigen itu sendiri di dalam tubuh akan merekrut sejumlah protein untuk melanjut kan aktivitasnya. Maka dapat dimengerti “ketika Feed Intake tidak mencukupi akan terjadi respon immun yang dibawah normal atau disebut immunodeficiensi secunder”.

Kesimpulan

Begitu banyak kerugian yang mungkin terjadi karena feed intake yang rendah, sehingga sangatlah penting untuk mengusahakan agar feed inrake ini mencukupi, terutama pada masa brooder.
Temperatur brooder ; kontrol temperatur pada pagi hari (jam 02.00- 04.00) dan temperatur litter (alas kandang).
Pengaturan lampu untuk cahaya dan distribusi cahaya yang merata. Disiplin yang tinggi dalam pengaturan tirai luar dan tirai dalam untuk mengatur tempertur dan kelembaban dalam kandang,tambahkan kipas angin bila perlu; feeding program yang baik dan kesiapan dalam menyongsong DOC tiba meliputi ketersediaan peralatan yang cukup, temperatur liter yang hangat (32 derajat Celcius) dan pemberian pakan sesegera mungkin dan lainnya adalah hal-hal yang sangat perlu untuk mendorong feed intake. Semua hal tersebut tentu saja membutuhkan petugas kandang yang memiliki disiplin dan tanggungjawab yang tinggi terhadap pekerjaannya. Satu hal dijumpai di banyak peternakan petelur adalah kekeliruan evaluasi performance yang menitikberatkan pada prosentase ayam yang hidup dan tidak menitikberatkan pada berat badan dan uniformity serta rendahnya perhatian pemilik terhadap keberhasilan dalam pemeliharaan. Terkadang DOC yang datang tidak sesuai dengan harapan, namun dalam banyak kasus seringkali kegagalan pemeliharaan pada masa brooding masih terpaksa dikompensasi pihak breeder dan hal ini justru akan menghalangi pemilik peternakan memperoleh pengetahuan yang benar, sehingga mendemotivasi usaha perbaikan management yang sudah ada.



Sumber : CP-Bulletin
readmore »»  

Jumat, 14 September 2018

.:: MIKOTOKSIN DAN IMMUNOSUPRESIF ::.

MIKOTOKSIN DAN IMMUNOSUPRESIF


Keterlibatan mikotoksin dalam kasus metabolik industri perunggasan dunia ibarat suatu “siluman”, tidak kasat mata namun jelas dalam efek yang ditimbulkannya. Kalaupun level dalam pakan dapat dideteksi dengan uji laboratoris, namun hasil uji laboratoris tersebut seringkali menimbulkan perdebatan yang tidak pernah tuntas. Tulisan ini mencoba memaparkan kajian lapangan kasus mikotoksikosis pada ayam modern dari kacamata seorang praktisi lapangan.

Sekilas tentang mikotoksin

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari beberapa jenis kapang yang tumbuh pada biji-bijian yang kaya akan bahan nutrisi (terutama karbohidrat) dalam kondisi lingkungan yang ideal atau optimal. Sampai saat ini telah diidentifikasi lebih dari 400.000 jenis mikotoksin yang dapat mengancam kehidupan manusia maupun hewan ternak, termasuk unggas.

Karakteristik fisik mikotoksin seperti tidak kasat mata (invisible), tidak berwarna (colourless), tidak berbau (odorless), serta tidak mempunyai rasa (tasteless) merupakan kesulitan tersendiri untuk mendeteksi keberadaan mikotoksin dalam pakan ternak. Dari sudut karakteristik kimiawi, mikotoksin merupakan senyawa kimia yang sangat stabil, sangat tahan pada suhu yang tinggi (>1000C), sangat tahan pada kondisi-kondisi penyimpanan serta sangat tahan pada berbagai kondisi proses-proses dalam pembuatan pakan ternak itu sendiri.

Ada beberapa kapang penting yang dapat menghasilkan mikotoksin dan berbahaya bagi ayam modern, yaitu:
  1. Field fungi, misalnya Fusarium roseum, Fusarium graminearum, dan Fusarium culmorum. Kapang Fusarium spp umumnya menghasilkan metabolit toksin-T2 (T2-toxin).
  2. Storage fungi, misalnya Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Penicillium viridicatum. Kapang-kapang dari kelompok ini umumnya dapat menghasilkan metabolit dalam bentuk aflatoksin (khususnya Aflatoksin-B1) dan okratoksin (khususnya Okratoksin-A).
Gejala klinis problem mikotoksikosis pada ayam modern biasanya tidak terlalu spesifik, umumnya dalam bentuk gangguan performa atau menurunnya produktifitas ayam yang ada. Di lapangan, kasus mikotoksikosis dapat terjadi secara akut, sub-kronis ataupun kronis; tergantung pada level dan jumlah jenis mikotoksin dalam pakan, lamanya ayam terpapar pada pakan yang mengandung mikotoksin serta keberadaan faktor lain seperti cekaman stres yang dapat bertindak sebagai faktor interaktan.

Mirip seperti pada gejala klinis, manifestasi bedah bangkai problem mikotoksikosis di lapangan dapat mengindikasikan kejadian sistemik, lokal atau bahkan spesifik pada organ tubuh tertentu (organ spesific); tergantung level dan jumlah jenis mikotoksin dalam pakan, lamanya ayam terpapar pada pakan yang mengandung mikotoksin serta keberadaan faktor lain seperti cekaman stres yang dapat bertindak sebagai faktor interaktan.

Hamilton (1984) adalah toksikolog pertama yang mengatakan bahwa tidak ada batas aman cemaran mikotoksin bagi manusia maupun hewan ternak. Hal ini terjadi akibat adanya fenomena efek KUMULATIF dari sebagian besar mikotoksin yang menyerang manusia dan hewan ternak. Pada kenyataan lapangan, situasi seperti inilah yang sebenarnya sering terjadi. Dari analisa laboratoris pakan ayam, seringkali ditemukan level mikotoksin yang relatif jauh di bawah batas ambang (misalnya Aflatoksin-B1 <20 ayam="" baik="" bangkai="" bedah="" di="" div="" gambaran="" gejala="" kasus="" klinis="" lapangan="" maupun="" mengarah="" menunjukkan="" mikotoksikosis.="" namun="" nbsp="" pada="" ppb="" realita="" sudah="" yang="">

sumber :
Tony Unandar
Poultry Indonesia
readmore »»  

Sabtu, 01 September 2018

.:: FERMENTASI DEDAK PADI ::.

FERMENTASI DEDAK PADI 



Dedak padi merupakan hasil samping penggilingan padi. Dedak padi tidak dapat disimpan lama. Keadaan ini disebabkan karena ketidakstabilan dedak padi selama penyimpanan karena aktifitas enzim. Aktifitas enzim ini dapat menyebabkan kerusakan atau ketengikan oksidatif pada komponen minyak yang ada dalam dedak padi. 

Teknologi penyimpanan dedak padi dengan cara fermentasi anaerob dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas. Teknologi ini dapat memperpanjang waktu simpan dedak padi. Teknologi ini juga dapat menurunkan kandungan asam fitat dedak padi sehingga penggunaannya dapat lebih maksimal dalam ransum. 

Asam fitat mampu berikatan dengan mineral, protein dan pati membentuk garam atau senyawa komplek, seperti: fitat-mineral, fitat-protein, fitat mineral protein dan fitat-mineral-protein-pati sehingga mineral, protein dan pati yang terkandung dalam ransum tidak dapat optimal digunakan oleh ternak. 

Laporan Irianingrum (2009) menyatakan bahwa : 

Perlakuan fermentasi dan lama penyimpanan dapat menurunkan kandungan asam fitat dari 6,70% menjadi 2,07% 
Meningkatkan nilai Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dari 63,06% menjadi 69,72%. 

Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa sederhana dengan melibatkan mikroorganisme. 

Tujuan fermentasi adalah untuk meningkatkan kandungan nutrisi suatu produk sehingga menjadi lebih baik. Selain itu juga untuk menurunkan zat anti nutrisi. 

Teknologi fermentasi anaerob yang digunakan pada pengawetan dedak padi dapat memanfaatkan starter bakteri asam laktat (BAL). Penambahan bakteri asam laktat ini akan mempercepat proses fermentasi. Bakteri ini tidak bersifat patogen dan aman bagi kesehatan sehingga sering digunakan dalam industri pengawetan makanan dan minuman (Hardiningsih et al., 2006), seperti: yogurt, minuman fermentasi, mentega fermentasi, keju, saos, kedelai dan sake (Januarsyah, 2007). Bakteri asam laktat dapat menjaga mutu makanan karena dapat mengendalikan pertumbuhan bakteri pengganggu dan pembusuk dengan memproduksi asam organik, hidrogen peroksida, diasetil dan bakteriosin. 

Bakteri asam laktat, baik yang bersifat homofermentatif maupun heterofermentatif memanfaatkan substrat yang tersedia pada lingkungannya dengan hasil akhir berupa energi dan asam-asam lemah, seperti: asam laktat, asam asetat serta CO2. Keberadaan asam laktat sebagai produk metabolisme dapat bersifat sebagai salah satu faktor penghambat bagi pertumbuhan mikroorganisme lain yang bersifat tidak baik (Lunggani, 2007). 

Bakteri asam laktat mempunyai kemampuan membinasakan bakteri saluran pencernaan yang patogen karena menghasilkan D, L atau DL asam laktat yang terfermentasi (Huis in’t Veld et al., 1994). 

Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi akan berperan sebagai zat pengawet sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. 

Bakteri asam laktat secara alami ada di tanaman sehingga dapat secara otomatis berperan pada saat fermentasi,, tetapi untuk mengoptimumkan fase ensilase dianjurkan untuk melakukan penambahan aditif, seperti inokulum bakteri asam laktat dan aditif lainnya untuk menjamin berlangsungnya fermentasi asam lakat yang sempuma (Ridwan et al., 2005). 

SnS Power Additive Liquid” adalah probiotik dengan koloni bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif, karena mengandung beberapa jenis bakteri asam laktat dan bakteri non pathogen lain yang sangat berguna dalam membantu proses pencernaan dan peningkatan kualitas ransum yang dapat dipergunakan sebagai starter (populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi.) 

SnS POWER Aditive


Langkah Pembuatan 100 kg Dedak Padi Fermentasi untuk tujuan penyimpanan lama 
  • Dedak padi yang akan diawetkan (dedak padi yang masih baru dan segar) = 100 kg. 
  • Dedak padi selanjutnya ditambah air (50% dari berat dedak padi [v/w]) = 50 liter 
  • Air yang ditambahkan sebelumnya dicampur terlebih dahulu dengan SnS Power Additive Liquid; tidak kurang dari 50% dari volume media yang akan difermentasi = 500 ml 
  • Molasses/tetes tebu ; 3% dari berat dedak padi = 30 ml. 
  • Dedak padi yang telah ditambah air, starter dan molases diaduk-aduk sampai merata (buat adonan pero[bhs.jawa]), selanjutnya dimasukkan drum atau kantong plastik dan ditutup rapat-rapat. 
  • Dedak padi yang sudah dimasukkan drum atau plastik selanjutnya difermentasi selama 3-4 minggu pada suhu kamar dalam kondisi an aerob. 
  • Dedak yang telah difermentasi dapat disimpan dalam waktu 4 bulan (Maragi, 2010). 

Catatan : 

Tampilan produksi unggas baik produksi daging, produksi telur atau kualitas sperma sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pakan, kecernaan dan kuantitas pakan yang diberikan. 

Pakan dengan kandungan energi dan kadar protein yang tinggi akan menghasilkan berat telur, kuning telur dan putih telur lebih tinggi. Demikian pula komposisi asam amino dalam pakan berpengaruh terhadap kosumsi pakan, jumlah telur, berat telur, berat badan dan konfersi badan (Freeman, 1983; Anggorodi, 1985 dan Riis, 1993). 

Beberapa bahan biologi aktif hasil fermentasi dapat menurunkan kadar kolesterol plasma. bahan biologi aktif hasil fermentasi itu antara lain protein, asam lemak tidak jenuh tunggal dan ganda, niasin, antioksidan dan kalsium.


--------------- diolah dari berbagai sumber -------------
readmore »»