Anda adalah pengunjung ke :

Minggu, 08 Juni 2014

PEMAKAIAN SEKAM, PASIR DAN KAPUR SEBAGAI BAHAN LITER

Dalam pemeliharaan ayam pedaging, untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka usaha tersebut harus mempunyai manajemen yang baik. Salah satu aspek dari manajemen adalah tatalaksana perkandangan.
 
Kandang yang biasa digunakan dalam pemeliharaan ayam pedaging adalah kandang sistem litter. Penggunaan alas kandang akan berpengaruh besar terhadap produktifitas unggas seperti pertambahan bobot badan dan produksi, karena masing-masing alas kandang mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Dalam pemeliharaan unggas diperlukan ketelitian dalam memilih dan menggunakan alas kandang, agar unggas dapat berproduksi setinggi mungkin (Murtidjo, 1987). Menurut Achmanu dan Muharlien (2011). Kandang yang lantainya diberi alas (litter) yang berfungsi untuk menyerap air , agar lantai kandang tidak basah oleh kotoran ayam, karena itu bahan yang digunakan untuk litter harus mempunyai sifat mudah menyerap air, tidak berdebu dan tidak basah. Hal ini didukung oleh Tobing (2005), yang menyatakan bahwa alas kandang harus cepat meresapkan air karena litter mempunyai fungsi strategis sebagai pengontrol kelembaban kandang, tidak berdebu dan bersifat empuk sehingga kaki ayam tidak luka/memar.

Bahan litter yang paling banyak digunakan pada peternakan ayam pedaging di Indonesia yang menggunakan sistem litter adalah sekam (rice hull). Reed dan McCartney (1970) menjelaskan bahwa sekam paling banyak digunakan untuk alas kandang karena mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
- Dapat menyerap air dengan baik,
- Bebas debu,
- Kering,
- Mempunyai kepadatan (density) yang baik,

Sifat lain dari sekam selain dapat menyerap air dijelaskan oleh Luh (1991), bahwa sekam padi bersifat tidak mudah lapuk, sumber kalium, namun cepat menggumpal dan memadat.

Dalam penggunaan bahan litter sekam padi sebagai alas kandang, ada beberapa yang menyarankan untuk mencampur dengan pasir dan kapur.

Penambahan pasir dalam campuran litter, disebabkan oleh sifat dari pasir yang dapat mendukung optimalisasi fungsi litter, seperti tidak menggumpal dengan penggunaan dalam jangka waktu yang lama (Ritz, et al 2002).

Sedangkan bahan kapur ditambahkan yaitu berfungsi untuk meredam amonia dari kotoran ayam dan membunuh bibit penyakit (Murtidjo, 2002). Sistematis peredaman amonia oleh kapur dijelaskan oleh Tobing (2005), bahwa mineral kalsium yang terkandung dalam kapur dapat melepas dan mengikat molekul-molekul air secara reversible (bolak-balik).

Pencampuran ketiga bahan litter tersebut, diharapkan dapat mengatasi masalah yang terjadi yang disebabkan oleh kelembapan karena kotoran dari ayam dan faktor-faktor lain, yang dapat mengganggu kesehatan ayam pedaging .Terganggunya kesehatan ayam secara otomatis dapat mengurangi jumlah pakan yang dikonsumsi, sehingga dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan dan konversi pakan ayam pedaging.

Menurut (Tobing, 2005) penggunaan alas kandang yang tepat bukan saja dapat mengurangi angka kematian, tetapi sekaligus meningkatkan bobot akhir ayam pedaging dan menurunkan konversi pakan. Hal ini bisa dipahami karena terciptanya kenyamanan dan maksimalnya status kesehatan ayam akan mampu membuat ayam untuk produktif sesuai potensi genetiknya.

Manajemen liter diatas hendaknya diimbangi pula dengan menciptakan kesehatan saluran pencernaan, karena semaksimal apapun manajemen liter yang kita upayakan jika saluran pencernaan tidak optimal manure/feaces yang keluar basah, semua upaya perbaikan system liter yang kita lakukan tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan. Untuk itu ciptakan kesehatan saluran pencernaan dengan memberikan SnS PRO probiotic solution dengan aplikasi air minum secara teratur, kami rekomendasikan setiap 1 minggu sekali selama 3 hari berturut-turut sampai menjelang panen.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dicari proporsi bahan untuk litter yang tepat dalam upaya meningkatkan produksi ayam pedaging.

Kenyamanan yang tercipta dengan pengaturan bahan liter mampu meminimalisir kasus lingkungan dan mampu meningkatkan produktifitas broiler, kami rekomendasikan penggunaan litter yang terdiri dari 50 % sekam, 33 % pasir dan 17 % kapur .


sumber materi :
Muharlien, Achmanu dan R.Rachmawati,
Universitas Brawijaya. Malang

readmore »»  

Jumat, 06 Juni 2014

SALURAN PENCERNAAN DAN PRODUKTIFITAS

Target produktifitas optimal ayam pedaging maupun petelur ditentukan oleh kesehatan saluran pencernaan, dampak dari semakin tingginya produktivitas Brolier maupun layer modern mengakibatkan ayam menjadi semakin sensitif terhadap perubahan lingkungan dan ancaman penyakit, sehingga membutuhkan manajemen kesehatan yang Iebih baik.

Penyakit saluran pencernaan adalah penyakit yang selain menimbulkan kematian dan gangguan produksi baik daging maupun telur, juga akan meningkatkankan jumlah ayam yang harus diafkir, peningkatan nilai konversi pakan dan menurunkan daya tahan tubuh ayam secara keseluruhan, status kesehatan saluran pencernaan ayam yang buruk akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat serius.

Oleh karenanya ancaman penyakit saluran pencemaan yang berasal dan virus, bakteri, parasit maupun jamur perlu ditanggulangi atau paling tidak dibatasi perkembangannya.

Mekanisme terjadinya gangguan saluran pencernaan pada ayam umumnya dikarenakan beberapa penyebab antara lain; virus, bakteri dan parasit, yang melakukan replikasi atau berkembangbiak dengan menggunakan sel saluran pencernaan hewan/inang, terutama bagian epitel. Hal tersebut akan mempengaruhi proses penyerapan zat gizi apalagi bila kerusakan saluran pencernaan cukup luas. Pada beberapa kasus penyakit. agen infeksi menyerang organ pendukung fungsi pencernaan, semisal pancreas atau hati, sehingga enzym yang dihasilkan organ pendukung fungsi pencernaan tidak bekerja optimal dan metabolisme zat gizi akan mengalami gangguan. Kerusakan organ limfoid karena agen infeksi penyakit akan mempengaruhi status kesehatan saluran pencemaan dikarenakan daya tahan tubuh terhadap agen infeksi saluran pencernaan akan menurun dan mempermudah agen infeksi melakukan replikasi/ berkembangbiak di saluran pencernaan.

Faktor-faktor pendukung terjadinya penyakit gangguan pencernaan, antara lain :
  • IKLIM dan CUACA, fluktuasi temperatur atau kelembaban akan meningkatkan stress pada ayam, terutama pada kandang sistem terbuka, sehingga sensitivitas terhadap gangguan penyakit menj adi tinggi, contoh lainnya adalah peningkatan kejadian kasus koksidiosis pada musim penghujan karena kualitas litter yang menurun.
  • KUALITAS AIR MINUM. Pada peternakan yang menggunakan air permukaan karena sulitnya mendapat air tanah yang dalarn, kualitas air minum merupakan masalah utama yang sering menjadi faktor pendukung utama timbulnya penyakit, terutama jumlah koliform yang di atas ambang normal.
  • KUALITAS PAKAN. Bahan baku pakan asal biji-bijian yang tidak dikelola dengan baik. dapat diganggu dengan tumbuhnya jamur yang menghasiikan toksin.
  • PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT. program pencegahan penyakit harus dilakukan dengan melakukan pemilihan program kesehatan dan biosekuriti yang tepat, cermat dan efisien.

Upaya untuk menekan bakteri dan parasit, melakukan replikasi atau berkembangbiak dalam saluran pencernaan hewan/inang, salah satunya dapat dilakukan dengan jalan memperbaiki keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan dengan memberikan SnS PRO probiotik solution sebagai suplemen melalui air minumnya,

Mekanisme kerja SnS PRO probiotik solution berikut ini dapat menjadi bahan pertimbangan merujuk pendapat Budiansyah A, 2004, yang menyatakan bahwa :
  1. Mikroba probiotik melekat dan berkolonisasi dalam saluran pencernaan. Jika mikroba dapat menempel kuat pada sel-sel usus maka mikroba probiotik dapat berkembangbiak dan mikroba pathogen akan tereduksi dari sel-sel usus.
  2. Mikroba probiotik berkompetisi terhadap makanan dan memproduksi zat antimikroba. Mikroba probiotik menghambat organisme patogen dengan berkompetisi.
  3. Mikroba probiotik menstimulasi mukosa dan meningkatkan sistem kekebalan inang.

Penggunaan SnS PRO probiotik solution sebagai suplemen dan aditif dapat memberikan keuntungan pada inangnya (terutama dalam saluran pencernaan),

dari berbagai sumber




readmore »»  

Minggu, 01 Juni 2014

PERANGKAT PERTAHANAN SALURAN PENCERNAAN RUMINANSIA

Dari cara hidup ternak di padang penggembalaan maupun yang di dalam kandang, akan segera terlihat bahwa agen-agen penyakit dapat dengan mudah memasuki tubuh melalui alat pencernaan makanan. Macam dan kualitas pakan di padangan memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat berlindung oleh parasit-parasit sebelum mereka dapat berkembang biak di dalam tubuh hewan.
 
Agar tubuh hewan terhindar dari bahan-bahan yang dapat menyebabkan gangguan, dalam sistem pencernaan individu tersedia perangkat-perangkat pertahanan yang memadai. Pertahanan tubuh dalam sistem tersebut berupa sebagai perangkat mekanik faali yang berupa refleks hipersalivasi, muntah dan peningkatan peristaltik saluran pencernaan hingga terjadi diare. Melalui kedua perangkat yang terakhir bahan penyebab sakit akan dikeluarkan dari tubuh dengan segera. Berbeda dengan pada hewan-hewan kesayangan, alat-alat pengindera cita rasa pada ternak besar, yang reseptornya terdapat pada permukaan lidah, kurang dapat berfungsi hingga bahan makanan yang mungkin mengandung racun, seperti yang terdapat pada kebanyakan tanaman beracun. dengan mudah akan termakan oleh ternak besar di padangan.

Perangkat pertahanan yang unik, yang terdapat di dalam saluran pencernaan, berupa mikroflora yang di dalam kolon seekor sapi mungkin berjumlah 400-500 jenis. Jumlah jasad renik tersebut dalam tiap gram tinja kadang-kadang mencapai 100 milyar. Mikroflora di dalam saluran pencernaan mempunyai fungsi ganda, yaitu :
  1. sebagai sumber energi bagi hewan semang yang ditempatinya.
  2.  sebagai barier pertahanan untuk mencegah masuknya kuman patogen ke dalam sel-sel selaput lendir saluran pencernaan, dan.
  3. sebagai pemacu sel-sel pertahanan tubuh guna membentuk komponen zat penolak atau antibodi.
Selain itu mikroflora juga mampu memacu peristaltik usus hingga kuman-kuman atau parasit lain dapat terdorong ke arah distal dan dikeluarkan dari tabuh (Hirsh, 1980).

Pada anak-anak yang baru dilahirkan saluran pencernaannya masih bersifat steril. Baru beberapa jam setelah kelahiran, setelah saluran pencernaan terbuka bagi masuknya kuman-kuman.
 
Kuman-kuman yang patogen dan tidak patogen akan berkembang di dalam tubuh anak tersebut. Anak-anak hewan spesies tertentu yang baru dilahirkan akan sangat mudah mengalami infeksi, bila anak-anak hewan tersebut tidak mendapatkan kolostrum dari induknya segera setelah dilahirkan.

Karena penurunan kemampuan penyerapan saluran pencernaan anak yang baru dilahirkan, kolostrum dari induk yang diberikan untuk pertama kali setelah anak berumur lebih dari 48 jam, tidak lagi memiliki arti penting dalam proses pemindahan zat penolak secara pasif dari induk kepada anaknya.

Telah diketahui kolostrum mengandung zat penolak dalam jumlah besar, yang terdiri dan protein imunoglubulin IgG, IgA dan 1gM. Anak-anak yang dilahirkan mungkin telah memiliki zat penolak, sama dengan dimiliki oleh induknya pada saat kelahiran. Apabila anak manusia dan kelinci menerima sepenuhnya antibodi dari induknya selama dalam kandungan. anak anjing hanya menerima antibodi sebesar 5% dari semestinya, sedang yang 95% lagi harus diterima melalui kolostrunt Anak-anak kuda, sapi dan babi sama sekali tidak dibekali zat penolak melalui plasenta selama dalam kandungan, hingga perlindungan setelah lahir semata-mata tergantung pada pemberian kolostrum yang berkualitas baik, yang berasal dari induk yang sehat dan telah mampu menolak berbagai penyebab penyakit infeksi. Dengan demikian individu yang baru dilahirkan mendapatkan perlindungan pasif melalui 2 jalan, secara plasental dan intestinal. Secara umum zat penolak yang diterima setelah kelahiran berguna untuk menolak penyakit infeksi umun, atau infeksi sistemik, dan untuk membekali sel-sel selaput lendir saluran pencernaan agar tidak dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakan kuman-kuman penyebab penyakit sistem pencemaan (Hirsh, 1980).

Zat penolak yang diterima dari induk akan sangat merosot jumlahnya dalam waktu lebih kurang 1 bulan. Gangguan pencernaan pada anak-anak sapi sampai dengan umur 3 bulan yang terbanyak berupa diare, yang penyebabnya meliputi :
a) kuman E. coli, Salmonella spp, dan Clostridium perfringens tipe A, B, dan C,
b) virus Rota-virus, Corona-virus dan Bovine viral diarrhea.
(c) protozoa Eimeria sp.,
d) cacing Ascaris sp. dan nematoda lainnya.

Pemberian SnS PRO probiotic solution kiranya sangatlah membantu dalam upaya membentuk system pertahanan disaluran pencernaan sedari dini.

Di negara yang industri peternakannya telah maju angka kematian anak sapi sampai umur 1 bulan biasanya kurang dari 5%. Di Amerika Serikat angka tersebut berkisar antara 3-50%, dengan rata-rata 10%. Kematian anak sapi sampai sejumlah 20% akan menyebabkan penyusunan keuntungan bersih sebesar 38% (Martin dan Wiggins, 1973).

Secara aktif hewan yang mendapatkan rangsangan penyebab sakit, yang bertindak sebagai antigen. sel-sel saluran pencemaannya akan memproduksi IgA dalam jumlah banyak serta membentuk kekebalan seluler. Kemampuan pembentukan zat-zat penolak oleh sel-sel maktofag, limfosit B dan limfosit T demikian besarnya, karena sepanjang saluran pencernaan terdapat simpul-simpul limfe yang mengandung sel-sel tersebut, dalam jumlah yang besar. Selain di dalam sel-sel selaput lendir pencernaan, imonoglobulin yang terbentuk juga akan dapat ditemukan di dalam getah pencemaan yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar khusus. Di dalam getah tersebut imunoglobulin mampu membentuk kompleks antigen-antibodi hingga antigen yang terdapat di dalam makanan tidak dapat diserap oleh usus. Bahan yang mampu menyebabkan penyakit, baik itu kuman ataupun rat-zat beracun, yang lolos dari proses netralisasi di dalam saluran usus akan diserap oleh darah maupun limfe. Dengan melalui vena porta hepatis bahan yang bersifat meracun akan dibawa ke hati untuk mengalami proses detoksikasi, dan seterusnya diekskresikan melalui empedu dan ginjal. Selain itu, sel-sel hati, hepatosit, juga memiliki kemampuan menahan antigen. hingga antigen tersebut menjadi inaktif (Hirsch, 1980).

Proses detoksikasi oleh hati juga berlaku bagi produk-produk metabolisme yang dapat meracun jaringan-jaringan tubuh lain. Kelebihan nitrogen amino yang tidak berguna akan diubah menjadi ureum. Asam urat mengalami oksidasi menjadi allantoin, sedang asam bensoat akan dikonjugasikan dengan glysin menjadi asam hippurat, yang selanjutnya oleh darah dibawa ke ginjal untuk diekskresikan bersama kemih.

Senyawa-Senyawa toksik yang tidak diekskresikan melalui ginjal akan diproses oleh sel-sel makrofag hati, sel-sel Kupffer. Protein-protein hemoglobin, mioglobin dan sitokrom, oleh hepatosit akan diubah menjadi bilirubin, untuk selanjutnya dikonjugasikan menjadi bilirubin diglukuronida. Selanjutnya konjugat tersebut diekskresikan ke dalam empedu dan kemudian diekskresikan ke dalam usus. Kegagalan hati dalam fungsi detoksikasi dan ekskresi akan mengakibatkan kenaikan kadar di dalam darah, hingga mengakibatkan gejala-gejala sarafi, esefalopati hepatik, atau tertimbunnya bahan-bahan yang dapat merangsang fotosensitisasi, misalnya phylloerithrin, hingga akan terjadi fotosensitisasi hepatik (Kidder dan McGullagh, 1980).

Apabila hati mengalami gangguan, gejala-gejala klinis mungkin baru nampak setelah sebagian besar hati (kadang sampai 70%) mengalami proses patologik, yang mungkin berupa radang, degenerasi. sirosis ataupun nekrosis. Gambaran klinik gangguan tersebut dapat bervariasi, mungkin berbentuk sebagai ikterus, busung air, gangguan pencernaan, gangguan saraf dan sebagainya. Untuk mengenal gangguan hati dapat dilakukan berbagai uji hati, yang berupa penentuan uji ikterus: uji Van den Berg, uji aktivitas enjima serum, uji resistensi atau ekskresi rat warna, uji ultrasonografi, atau USG, dan uji biopsi. Nllai ikterus pada hewan-hewan sapi dan domba kurang memiliki anti praktis, sedang niIai normal kuda jauh lebih tinggi daripada nilai normal hewan-hewan lain, bahkan untuk berbagai bangsa sapi saja, nilai tersebut juga berbeda-beda.

Uji aktivitas enjima yang paling banyak dilakukan adalah SOPT, SOOT, gamma-GT, SD, SOD dan SOCT. Kenaikan nilai SOOT hanya memiliki arti signifikan untuk anjing dan kucing. Zat warna yang paling sering digunakan dalam uji retensi adalah bromosulfophthalein (BSP). Karena sulitnya menentukan secara tepat berat tubuh hewan-hewan besar, retensi BSP ditentukan dengan menetapkan waktu paroh (T½) yang dapat diperoleh dengan jalan memeriksa kadar BSP dalam seperangkat sera yang diambil pada waktu yang berbeda-beda. Uji USO hati kecuali untuk hewan-hewan percobaan dan kesayangan tidak dilakukan. Untuk uji biopsi, meskipun mudah dilakukan, tetapi agak sulit untuk menentukan lokasi jaringan yang mengalami lesi.


sumber :
(Ilmu Penyakit Ternak II – Subronto)
readmore »»