Anda adalah pengunjung ke :

Sabtu, 29 Juni 2013

MEMPERTAHANKAN KONDISI OPTIMUM KINERJA SALURAN PENCERNAAN AYAM

Manajemen dan formulasi pakan dapat mempengaruhi efek kerja dari pada saluran pencernaan. Kesehatan dari pada saluran pencernaan (usus) sangat mempengaruhi pemanfaatan nutrisi yang terkandung dalam sediaan pakan dan juga pertumbuhan ayam. Problem gangguan kesehatan pada saluran pencernaan (usus) muncul karena status nutrisi yang tidak baik dan juga karena kondisi lingkungan yang tidak higienis terutama selama tahap awal pemeliharaan anak ayam.

Untuk mendapatkan efektifitas biaya dan optimalisasi pertumbuhan dari ayam yang dipelihara, berkenaan dengan fungsi saluran pencernaan, maka sangat perlu untuk dilakukan:
  • Pelihara kesehatan saluran pencernaan (usus) melalui penyediaan dan pemberian pakan dengan nilai nutrisi/gizi yang tepat dan kondisi lingkungan yang bersih.
  • Perawatan yang efektif terhadap adanya kelainan pada saluran pencernaan (usus).

Fungsi dan Struktur Saluran Pencernaan Ayam
Untuk menjaga integritas dan kondisi sehat dari saluran pencernaan pada ayam, pemahaman yang sangat jelas dari struktur dan fungsi saluran pencernaan adalah sangat penting. Sistem kerja saluran pencernaan pada unggas dalam memecah pakan yang dikonsumsinya menjadi komponen yang paling mendasar (basic components) secara mekanikal dan kimiawi. Komponen yang paling mendasar (basic components) dari pakan selanjutnya diserap (absorption) oleh sel-sel (vili-vili) pada dinding usus.

Sistem saluran pencernaan dari ayam dimulai dari paruh dan berakhir pada anus (cloaca). Organ yang terkait dengan sistem pencernaan meliputi; oesophagus, tembolok (crop), proventriculus, gizzard, duodenum, usus kecil (small intestine), sepasang caecum dan usus besar. Organ vital lain yang terkait dengan fungsi sistem pencernaan adalah hati dan pankreas.

Dengan beberapa pengecualian (keberadaan dari tembolok, gizzard, proventrikulus, usus pendek dan kloaka), anatomi saluran pencernaan dan fisiologi dari unggas adalah serupa dengan hewan mamalia. Oleh karena adaptasi untuk bisa terbang pada bangsa unggas, maka ukuran saluran pencernaannya relative kecil, karena berhubungan dengan berat tubuhnya. Namun demikian kondisi ini dikompensasi oleh vascularisasi yang lebih tinggi (kaya pembuluh darah), tingkat ekskresi lambung yang lebih tinggi, waktu henti pakan dalam usus yang ditingkatkan, dan kadar keasaman yang lebih rendah pada saluran pencernaannya dibandingkan dengan hewan mamalia.

Bangsa unggas juga memiliki jumlah villi usus yang lebih banyak dengan kemampuan regenerasi sel epithel yang tinggi (48 sampai 96 jam), dan respon yang sangat cepat terhadap adanya radang (kurang dari 12 jam, dibandingkan dengan 3-4 hari pada jenis mamalia), yang membuat bangsa unggas lebih peka terhadap gangguan fungsi saluran pencernaan dalam kapasitas menyerap nutrisi pakan dibanding dengan mamalia.

Integritas Saluran Pencernaan
Kondisi optimum dari saluran pencernaan dapat digambarkan sebagai keadaan utuh dari struktur dan fungsinya atau sederhananya kondisi maksimal dari fungsi saluran pencernaan dalam mencerna dan menyerap nutrisi pakan.

Memelihara kondisi GIT (Gastro intestinal tract)
Beberapa paramater yang dapat digunakan untuk menilai saluran pencernaan ayam berfungsi baik:
  • Kecernaan dan penyerapan nutrisi pakan yang baik.
  • Sangat rendahnya nilai nutrisi pakan yang terbuang menjadi kotoran
  • Bau sangat minim dari kotoran yang dihasilkan
  • Sangat rendah bahkan hampir tidak ada ayam yang nampak sakit atau mati
  • Feed Convertion Ratio sangat baik (sesuai standar) 
Untuk memelihara Gastro Intestinal Tract agar saluran pencernaan ayam berfungsi dengan baik yang pada akhirnya berujung pada pertumbuhan dan produksinya kami memperkenalkan SnS PRO,probiotic solution disamping telah terbukti mampu memenuhi tercapainya parameter diatas, bakteri probiotik (bakteri baik/non pathogen) yang terkandung didalam SnS PRO,probiotic solution, juga mampu menekan perkembangan bakteri-bakteri non pathogen dalam saluran pencernaan.


sumber : artikel  Drh. Wayan Wiryawan
readmore »»  

CACINGAN PADA AYAM

Terdapat dua jenis parasit cacing yang sering dijumpai pada unggas seperti Nematoda atau cacing gilig dari jenis Nemathelminthes dan Cestoda atau cacing pipih dari jenis Platyhelminthes.
Dalam pengendaliannya, dibutuhkan identifikasi spesies yang tepat dan pengetahuan tentang siklus hidup kedua cacing tersebut.
Nematoda merupakan kelompok parasit cacing yang terpenting pada unggas, hal ini terkait dengan jumlah spesiesnya dan kerusakkan yang disebabkan cacing tersebut. Kelompok Nematoda mempunyai siklus hidup langsung dan tidak langsung.
Pada siklus hidup langsung, Nematoda tidak membutuhkan inang perantara untuk menginfestasi ayam atau unggas lainnya sedang pada siklus hidup tidak langsung, Nematoda membutuhkan inang perantara untuk kelangsungan hidupnya.

Jenis Nematoda yang dapat menyerang ayam peliharaan :
  1. Nematoda yang menyerang saluran pencernaan adalah Capilaria, Gongylonema, Dyspharynx, Tetrameres, Ascaridia, Heterakis, Strongyloides dan Trichostrongylus. Pada bagian ini, yang perlu diwaspadai peternak adalah Capilaria, Ascaridia dan Trichostrongylus yang sering menyerang ayam yang dipelihara dengan sistem ekstensif.
  2. Nematoda yang dijumpai pada saluran pernafasan adalah Syngamus yang dikenal juga dengan istilah cacing merah karena warna cacing ini merah atau cacing garpu karena cacing jantan dan betina dalam kopulasi selalu terlihat seperti hurup “Y”.
  3. Nematoda yang dapat dijumpai pada mata adalah Oxyspirura. Infeksi Oxyspirura pada ayam liar seperti ayam kampung sering dijumpai. Cacing ini dijumpai di bawah selaput niktitan, kantong konjungtiva dan saluran nasolakrimalis mata. Manifestasi klinis pada ayam yang terinfestasi Oxyspirura adalah oftalmia atau radang mata yang berat, gelisah dan terus menerus menggaruk mata yang terlihat basah dan memerah karena radang. Kemudian selaput niktitan terlihat membengkak, sedikit menonjol di bawah kelopak mata di bagian sudut mata dan biasanya digerakkan secara terus menerus sebagai usaha untuk mengeluarkan benda asing dari dalam mata. Pada kondisi parah, kelopak mata terlihat bertaut dan di bawahnya dapat ditemukan material mengeju berwarna putih. Jika tidak diobati, infestasi Oxyspirura dapat menimbulkan kebutaan pada ayam.
Askaridiasis pada Ayam

Salah satu penyakit pada ayam yang sering ditemui adalah karidiasi. Penyakit ini disebabkan oleh cacing Ascaridia galli yang menyerang usus halus bagian tengah. Cacing ini menyebabkan keradangan dibagian usus yang disebut hemorrhagic. Larva cacing ini berukuran sekitar 7 mm dan dapat ditemukan diselaput lendir usus. Parasit ini juga dapat ditemukan dibagian albumen dari telur ayam yang terinfeksi.

Infeksi Ascaridia dapat disebabkan oleh Ascaridia galli, Ascaridia dissmilis, Ascaridia numidae, Ascaridia columbae, Ascaridia compar, dan Ascaridia bonase. Selain berparasit pada ayam, Ascaridia galli juga ditemukan pada itik, kalkun, burung dara, dan angsa. Cacing ini tinggal didalam usus halus, berwarna putih, bulat, tidak bersegmen dan panjangnya sekitar 6-13 cm.

Ascaridia galli merupakan suatu parasit cacing yang paling sering ditemukan pada unggas peliharaan dan menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup tinggi. Cacing tersebut biasanya menimbulkan kerusakan yang parah selama bermigrasi pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva.

Migrasi terjadi di dalam lapisan mukosa usus dan menyebabkan pendarahan (enteritis hemoragi). Jika lesi tersebut bersifat parah, maka kinerja ayam akan menurun secara dramatis. Ayam yang terinfeksi akan mengalami gangguan proses digesti dan penyerapan nutrien sehingga dapat menghambat pertumbuhan.

Selanjutnya, cacing Ascaridia bersifat spesifik untuk suatu spesies tertentu dan tidak ada/hanya sedikit kemungkinan terjadi infeksi silang antara jenis unggas yang satu dengan yang lainnya. Ascaridia galli berparasit pada ayam, kalkun, burung dara, itik, dan angsa.

Siklus hidup Ascaridia galli tidak butuh hospes perantara. Penularan cacing tersebut biasanya melalui pakan, air minum, litter, atau bahan lain yang tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh Ascaridia galii.

Pada umur 2-3 bulan, ayam akan membentuk kekebalan berperantara seluler terhadap cacing tersebut. Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya dapat ditolerer oleh tanpa adanya kerusakan tertentu pada usus. Infestasi 10 ekor cacing pada ayam dewasa dianggap tidak berbahaya, namun lebih dari 75 ekor akan menimbulkan masalah tertentu.

Infeksi Ascaridia galli dapat menimbulkan penurunan berat badan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing yang terdapat didalam tubuh. Status nutrisi dari hospes juga penting karena penurunan berat badan lebih tinggi terjadi pada ayam yang diberi pakan dengan kadar protein tinggi dari pada ayam yang diberi pakan dengan protein lebih rendah.

Pada infeksi berat dapat terjadi penyumbatan pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortilitas.

Infeksi Ascaridia galli tidak mempengaruhi terhadap kadar protein darah, packed cell-volume (PCV) atau kadar hemoglobin. Penyakit tersebut mempunyai efek sinergistik dengan penyakit lain, misalnya koksidiosis dan Infectious bronchitis (IB). Cacing tersebut juga dapat membawa reovirus dan menularkan virus tersebut.

Kadang-kadang, Ascaridia galli juga dapat ditemukan dalam telur ayam, hal ini dapat dihubungkan dengan kemampuan cacing untuk bermigrasi kedalam oviduk melalui kloaka, sehingga cacing tersebut akan terbungkus oleh kulit telur.

Umur ayam dan derajat keparahan infeksi memegang peranan penting dalam kekebalan terhadap cacing tersebut. Ayam yang berumur 3 bulan atau lebih menunjukan adanya resistensi terhadap infeksi Ascaridia galli. Status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap cacing tersebut. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatakan resistensi terhadap Ascaridia galli.

Lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.

(dari berbagai sumber)
readmore »»  

Sabtu, 22 Juni 2013

FEED ADITIF UNTUK UNGGAS DI BAWAH TEKANAN PANAS

Terlepas dari penyesuaian formulasi sederhana, feed aditif tertentu membantu mengurangi efek negatif dari stres panas pada kinerja pertumbuhan pada unggas.

Ketika datang stres panas, penting untuk mempertimbangkan tidak hanya langkah-langkah mengenai penyesuaian dalam pengelolaan hewan dan fasilitas, tetapi juga penyesuaian dalam formulasi pakan.

Formulasi pakan selama musim panas hendaknya di formulasikan dengan tepat. Upaya ini dapat mengurangi jumlah panas yang dihasilkan selama pencernaan dan metabolisme, meningkatkan kenyamanan hewan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Berikut beberapa feed additive yang dapat dipergunakan untuk membantu kondisi ini
  1. NATRIUM BIKARBONAT ditambah hingga 0,1 persen dapat meningkatkan konsumsi pakan, terutama pada hewan yang lebih tua. Feeding natrium bikarbonat untuk babi muda sangat tidak dianjurkan karena bahan ini cenderung untuk buffer pH lambung. Cara terbaik adalah dengan menggunakan dosis yang lebih rendah bila memungkinkan untuk menghindari ketidakseimbangan keseimbangan elektrolit diet optimal.
  2. KALIUM KLORIDA (dan amonium klorida) telah terbukti meningkatkan kinerja pertumbuhan, terutama pada ayam pedaging, tapi hanya jika digunakan dalam konteks menyeimbangkan keseimbangan elektrolit diet diet. Menambahkan terlalu banyak garam-garam ini harus dihindari.
  3. VITAMIN C, meskipun tidak dibutuhkan oleh mamalia atau burung dalam kondisi normal, telah terbukti mengurangi gejala stres panas dengan mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan imunitas dalam kondisi stres. Hasil terbaik ditunjukkan bila digunakan dengan tingkat optimal bersama vitamin E dan mungkin (organik untuk meningkatkan jumlah diserap) dan selenium, sebagai bagian dari paket antioksidan, terutama dalam diet kaya lemak.
  4. BETAINE dikenal sebagai donor metil (suku cadang bagian dari kebutuhan methionin), tetapi juga merupakan osmo-regulator ampuh yang telah terbukti memberikan manfaat pada hewan menderita dehidrasi. Betaine bertindak menyeimbangkan kadar air di dalam sel, dan meredakan efek negatif dari akumulasi ion anorganik yang mengacaukan enzim seluler dan protein lain (seperti yang terjadi ketika garam dijelaskan di atas digunakan pada jumlah berlebihan!) Betaine secara khusus bermanfaat dalam kasus-kasus dimana hewan hanya memiliki air asin untuk minum seperti yang terjadi di banyak daerah sangat dekat dengan garis pantai.
  5. NATRIUM ZEOLIT ​​adalah tanah liat alami (dan juga agen anti-mikotoksin yang baik) yang telah terbukti mengurangi efek stres panas (pada ayam petelur, tetapi dapat dengan aman diasumsikan akan melakukan yang sama pada hewan monogastrik lain, tapi ini memerlukan verifikasi lebih lanjut). Meskipun modus yang tepat kerjanya tidak diketahui, natrium zeolit ​​berfungsi sebagai buffer dalam sistem pencernaan, mengurangi alkalosis terkait dengan panting (terengah-engah).
  6. ENZIM (di sini kita hanya mempertimbangkan karbohidrase) digunakan selama stres panas dapat meningkatkan kepadatan energi pakan untuk mencegah turunnya konsumsi pakan. Praktek ini adalah sepanjang baris mengurangi serat kasar makanan, yang menghasilkan panas paling tinggi dari pencernaan. Peningkatan lemak makanan dan minyak menghasilkan sedikit panas. Tidak ada aditif atau penyesuaian formulasi pakan sepenuhnya dapat mengimbangi efek negatif dari stres panas yang parah. Tapi, ketika bagian dari program yang komprehensif, aditif ini dapat membantu memulihkan bagian dari potensi performan yang hilang.

Sumber : www.poultryinternational-digital.com
readmore »»  

Jumat, 21 Juni 2013

KOLIBASILOSIS PADA TERNAK DAN MANUSIA

Kolibasilosis disebabkan oleh bakteri Escherichia Koli patogen (EPEC= entero pathogenic E coli). Bakteri ini didapat dari air yang mengandung koli, saat di cabang tenggorok-kerongkongan sebagian akan masuk ke dalam paru-paru dan kantung hawa dan kemudian berbiak disana.bakteri Koli dapat menyebar di permukaan organ viseral seperti hati, jantung, dan lain-lain menimbulkan peritonoitis, perihepatitis, epikarditis. Komplikasi bakteri lain (mikoplasma) dan virus sering terjadi, dalam kondisi ini sering terjadi manifestasi infeksi kompleks. Karena tempat berkembang biak di kantung hawa, di mana daerah ini sangat sedikit dialiri darah (vaskularisasi sangat sedikit) membuat obat-obatan tidak efektif mencapai bakteri ini, karena obat diedarkan ke seluruh organ tubuh lewat darah. Hal ini membuat seolah-olah kolibasilosis sulit diobati. Bukan karena obatnya tidak manjur, tetapi karena obat tidak dapat mencapai tempat bakteri berada.

Kolibasilosis Pada Unggas

Kolibasilosis dapat menyerang unggas pada berbagai tingkatan umur. “Infestasi Eschericia coli menyebabkan kematian embrio sebelum telur menetas yang terjadi pada periode akhir pengeraman, kematian pada pitik ataupun anak ayam dapat terjadi sampai umur 3 minggu dengan gejala septikemia, respirasi kronik, sinovitis, perikarditis, dan salpingitis.

Di samping itu juga ditemui adanya gejala omphalitis, oedema, dan jaringan sekitar pusar lembek seperti bubur (mushy). Sedang pada broiler, kasus kolibasilosis ditemui pada umur 6-10 minggu, yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan disertai bersin, anemia, dan kekurusan yang berakhir pada kematian.

Namun perlu dilihat gejala serupa pada kasus Salmonellosis, diare akibat makanan, pada unggas Kolibasilosis dikelirukan dengan penyakit sepsis akut seperti Salmonellosis, pasteurellosis, dan streptoccosis, sedang pada babi diare akibat defisiensi zat besi pada pakan dapat mengkelirukan Kolibasilosis.

Kolibasilosis Pada Manusia

Merujuk pada muasal Kolibasilosis, disinyalir manusia berpotensi besar terpapar Eschericia coli. Dalam setiap aktifitas, manusia selalu bersentuhan dengan penyebab Koli. Misalkan saja saat minum, makan dan aktifitas lainnya, kuman Eschericia coli terikut dengan media-media tersebut, namun jarang menimbulkan kesakitan karena jumlah Eschericia coli masih dibawah ambang batas. Pada dasarnya dalam tubuh manusiapun terdapat bakteri Eschericia coli tapi dalam batas yang wajar, dengan fungsi untuk membantu proses pencernaan. Pada saat akumulasi bakteri Koli meningkat, maka tubuh menimbulkan reaksi penolakan, sehingga terjadilah kesakitan pada manusia yang dicirikan dengan mual, muntah dan diare.

Kasus Koli terbesar pada manusia dapat ditemukan di pemukiman penduduk dengan drainase yang kurang terawat, unhygienitas dan kondisi pemukiman penduduk yang padat. Pencegahan dapat dilakukan dengan perbaikan saluran air, meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan serta penataan lingkungan pemukiman sesuai dengan kondisi wilayah setempat.

Sedang untuk tindakan pengobatan dapat dilakukan dengan terapi elektrolit misalnya pemberian air minum, pemberian oralit, air tajin, dan dapat juga diberikan minuman-minuman pengganti ion tubuh. Disamping itu pemberian antibiotika dianjurkan pada golongan antibiotika berspektrum luas atau dapat menggunakan preparat Trimetropim dan Cotrimoxazole.

Namun adapula para ahli yang menyatakan Penggunaan antibiotika gram negatif lebih tepat sasaran, mengingat Eschericia coli adalah bakteri gram negative. Agar tindakan pengobatan tidak sia-sia dengan biaya yang besar, pemilihan antibiotika yang tepat dengan harga yang terjangkau perlu diperhatikan.

Kematian akibat Kolibasilosis pada manusia jarang, tapi perlu antisipasi untuk penyakit ikutan yang disinyalir sebagai penyebab kematian pada pasien dehidrasi akibat Koli.

Kejadian Kolibasilosis

Koli bisa terjadi pada berbagai musim. Sepanjang tahun bisa terjadi, terutama pada saat kemarau dan hujan. Ditunjang oleh kondisi stres atau saat terjadi imunosupresif (Gumboro, mikotoksin, Myeloid Leukosis, dll).

Pada musim kemarau terjadi keterbatasan air minum yang berkualitas pada peternakan. Di saat ini peternak sering menggunakan sumber air apa saja untuk ternaknya. Kecuali mereka punya sumber air yang mencukupi. Sebaliknya pada musim hujan, air permukaan yang mengandung bakteri Koli mudah mengkontaminasi sumber air minum. Kejadian Koli sangat berkaitan dengan kualitas air minum.

Di Indonesia seringkali terjadi kasus Koli yang sangat parah, ini berkaitan dengan manajemen secara keseluruhan. Kolibasilosis adalah penyakit manajemen, dan manajemen dapat digunakan sebagai ukuran atau indikator apakah manajemen di suatu peternakan baik atau buruk.

Pengendalian Kolibasilosis

Disamping perbaikan manajemen yang memang mutlak harus dilakukan ada pula beberapa cara lain yang dapat dilakukan oleh peternak dalam upaya pencegahan terhadap infeksi E. koli diantaranya adalah pemberian Suplemen Probiotik.
Bakteri-bakteri probiotik mempunyai kemampuan merombak karbohidrat sederhana menjadi asam laktat (menghasilkan Asam laktat).

Seiring dengan meningkatnya asam laktat, pH lingkungan menjadi rendah dan menyebabkan mikroba lain (Bakteri pathogen) tidak tumbuh. Ketika terjadi kolonisasi di permukaan saluran pencernaan, Bakteri-bakteri probiotik mencegah tumbuhnya jamur dan menekan pertumbuhan E. koli dan bakteri pathogen gram negatif di dalam usus halus.

WATKINS dan MILLER (1983) melaporkan bahwa bakteri pathogen dalam feses ayam jumlahnya berkurang setelah diberi Probiotik secara teratur. Bakteri-bakteri probiotik dapat menjaga keseimbangan populasi bakteri lainnya dalam usus halus.

SnS PRO, probiotic solution adalah salah satu probiotik komersial yang telah teruji mampu menjadi solusi bagi peternak dalam upaya pengendalian E.koli pada peternakannya.


Dari berbagai sumber
readmore »»  

Kamis, 20 Juni 2013

VITAMIN (Perkuat Kondisi Ayam)

Vitamin banyak manfaatnya. Memberikan Vitamin pada ayam berarti memperkuat kondisi ayam.
Salah satu manfaat penting dari vitamin pada unggas adalah memperkuat kondisi kesehatan ayam yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan produksinya.

ASUMSI sebagian peternak ayam, pemberian vitamin adalah pemborosan. Mereka berpendapat bahwa vitamin itu sudah cukup memadai ada di dalam pakan baik pakan jadi maupun konsentrat. “Bila masih harus diberikan dalam campuran pakan hal itu adalah pemborosan.
Vitamin yang dibutuhkan unggas sangat tidak cukup hanya bergantung dari pakan yang setiap hari diberikan. Untuk itu, Pemberian vitamin pada unggas dengan titik berat dibudidayakan pada optimalisasi produksi harus secara teratur dan tepat ukuran.

Tak mudah menyadarkan peternak arti penting vitamin pada unggas, tapi sebagian peternak profesional terutama peternak ayam petelur menyadari hal itu, sehingga secara seksama memperhatikan kebutuhan zat tersebut dalam ransumnya. Pemberian vitamin secara teratur, dengan sendirinya akan mendongkrak kemampuan produksi ternak melalui perbaikan status kondisi kesehatannya dan optimalisasi fungsi dan organ-organ tubuh ayam. Pencerahan dan upaya mencerdaskan pelaku perunggasan domestik menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dan peduli. Tanpa langkah itu dikhawatirkan ketertinggalan dengan dunia luar akan semakin jauh.

Vitamin adalah istilah umum untuk segolongan zat organik yang terdapat dalam jumlah kecil dalam berbagai bahan makanan, diperlukan untuk pertukaran zat normal, pertumbuhan, perkembangan badan. Kata Iainnya, vitamin merupakan suatu bagian dan nutrien yang sangat dibutuhkan sekali oleh makhluk hidup. Akan tetapi, beberapa dari makhluk hidup tidak mampu memproduksi di dalam tubuhnya. Padahal zat tersebut sangat esensial, meski terkadang volume yang dibutuhkan sangat-sangat mikro sekali.

Keberadaan vitamin di dalam tubuh makluk hidup termasuk unggas, memegang peranan penting dalam proses metabolisme zat makanan seperti lemak, protein dan kharbohidrat serta mineral. Keberhasilan dan juga optimalisasi metabolisme di dalam tubuh makhluk hidup, berarti fungsi atau fisiologis alami tubuh akan tercapai. Tak terkecuali, lepasnya makhluk hidup dari gangguan kesehatan seperti penyakit infeksius dan dan penyakit non infeksius seperti gangguan fungsi alat-alat tersebut.

Berbagai bahan makanan yang masuk akan diubah menjadi energi untuk kepentingan hidup serta kehidupan makhluk itu juga yang paling penting adalah tercapainya produksi secara optimal Dan di sini ada arti penting yang harus ditanamkan kepada para peternak unggas adalah aspek ketidak mampuan di dalam tubuh unggas dalam memproduksi/mensintesa vitamin (Unggas Tak Mampu Bikin Vitamin didalam tubuh).

VITAMIN DALAM PAKAN?

Masukan atau intake vitamin dalam pakan yang dikonsumsi harus selalu tersedia secara cukup meski dalam jumlah atau volume yang kecil.

Asumsi peternak yang membebankan kebutuhan vitamin pada pakan. Memang tidaklah 100% salah oleh karena memang seharusnya di dalam setiap ransum sudah ada mikronutrien tersebut. Yang harus diberikan pengertian, bahwa vitamin yang terdapat dalam ransum tersebut sangat peka sekali terhadap kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Artinya kandungan vitamin itu akan mudah berkurang volumenya bahkan hilang sama sekali apabila mengalami hal-hal seperti kena panas dan kelembaban. Di samping itu, lama penyimpanan dan cara simpan pakan yang tidak baik juga menyebabkan rusaknya vitamin di dalam pakan.

VITAMIN UNTUK PRODUKSI DAN SAAT SAKIT

Bila dikaitkan dengan fungsi dan tujuan pokok budidaya unggas dirancang untuk berproduksi secara optimal baik telur maupun daging, maka kebutuhan vitamin sangat punya makna yang tak bisa diabaikan.

Sedangkan pemberian vitamin terhadap unggas, sangatlah besar manfaatnya. terutama bila unggas menderita sakit (meski sakit bukan karena kekurangan vitamin). salah satu penyakit yang akan menggangu proses penyerapan zat-zat makanan adalah penyakit yang merusak dinding usus. Untuk itu di samping harus ada pengobatan atas agen penyakit yang menyebabkan rusaknya dinding usus, pemberian vitamin yang dapat dan mampu mendorong dan membantu kembalinya fungsi dinding usus adalah sangat penting.

Penyakit-penyakit pada saluran pencernaan yang umumnya mengganggu proses penyerapan akan menyebabkan hilangnya banyak vitamin dan sari-sari makanan yang lainnya, yang mana sangat penting dalam proses metabolisme.

Salah satu manfaat penting dari vitamin pada unggas adalah memperkuat kondisi kesehatan ayam yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan produksinya (telur dan daging).

Dengan demikian Jelas, kehadiran vitamin sangat bermakna bagi ayam.

(Disarikan dari : Majalah Invofet)
readmore »»  

How to produce eggs with natural pigments

by Dr. Ioannis Mavromichalis

Ingredients with a high concentration in natural pigments are few among those commonly used in poultry nutrition, and such ingredients are sought after to produce all-natural eggs for specific markets.
  [img]
Feeds for commercial layers are usually supplemented with synthetic pigments to ensure egg yolk has a desired and, even more importantly, consistent color; ranging from golden yellow to deep orange-red depending on local preferences. There is, however, a small but increasingly significant market in which all-natural ingredients are all that are allowed to be used in layer feeds, and as such, synthetic pigments are excluded. For this market, for which egg yolk color is as important as any other market, two aspects that largely control egg pigmentation must be considered: type and concentration of pigments.
Pigments that impart a yellow or orange color to egg yolk belong to an oxycarotenoid group called xanthophylls. The most important xanthophylls for egg yolk coloration are zeaxanthin and lutein. The former is causing egg yolks to be more orange-red in color, while lutein imparts a more yellow hue. The balance between these two major xanthophylls is what determines final color in egg yolks. Equally important to this balance is the total xanthophyll concentration in feed. As a rule of thumb, to achieve a satisfactory saturation of color, the feed must contain at least 15-20 ppm total xanthophylls.
From among commonly available ingredients, maize is considered a good source of xanthophylls (20 ppm), followed by the less frequently encountered but very powerful maize gluten meal (275 ppm), and the infrequently used alfalfa meal (175 ppm). Maize and maize gluten meal are rich in zeaxanthin (4 ppm in whole maize), whereas alfalfa meal is rich in lutein (64 ppm). An unusual source of natural xanthophylls is marigold petal meal, which was added quite frequently in commercial feeds before the advent of synthetic pigments. The concentration of xanthophylls in Marigold petal meal is 7000 ppm. More recently, the use of certain algae as a source of natural pigments has been investigated as it was found they can contain up to 2000 ppm xanthophylls.
Another consideration in the effort to provide layers with feeds rich in natural pigments is that xanthophylls are quite unstable compounds and as such they deteriorate quite easily during storage. As such, the addition of a strong (natural) antioxidant will help maintain the potency of natural pigments for longer. In addition, avoiding excesses of vitamin A will help increase yolk color intensity as this vitamin has been shown to antagonize xanthophylls in their role as pigments. Finally, ensuring pullets enter egg production with highly colored shanks (by providing high levels ofxanthophylls in the grower feed) will maintain a deeper egg yolk color for longer as hens draw from their body pigment reserves (shanks and skin) to supplement what they receive from their feed on a daily basis.
In conclusion, layer feeds based on maize and supplemented with alfalfa meal or maize gluten meal can satisfy the need for all-natural eggs with sufficient yolk coloration. Deeper color can be achieved by using marigold petals and algae, but the xanthophyll composition of these ingredients can be very variable as it is product specific.

Sumber : Poultry International
readmore »»  

Sabtu, 15 Juni 2013

PEMBERIAN PAKAN METODE BASAH PADA AYAM

Cara yang umum digunakan dalam penyajian pakan metode basah adalah merendam makanan beberapa saat sebelum diberikan pada ternak ayam.
Hal yang harus diperhatikan dalam pembasahan makanan ayam adalah rentang  pembasahan dengan pemberian makanan dan rasio air dengan ransum.
Ayam hendaklah mampu menghabiskan secepatnya jumlah pakan yang disajikan dalam bentuk basah untuk menghindari fermentasi dan berjamurnya makanan.
Ratio air dan makanan penting untuk diperhatikan karena pembasahan dengan jumlah air yang terlalu banyak akan menyebabkan makanan tenggelam dalam air. Dampaknya, ayam akan enggan memasukkan paruhnya kedalam air untuk mengkonsumsi pakannya. Terlalu sedikit air juga tidak akan memaksimalisasi fungsi pembasahan dan manfaatnya juga menjadi tidak maksimal.
Rasio 1:1 (1 kg air dan 1 kg makanan) sampai dengan rasio 2:1 ( 2 bagian air dan satu bagian makanan) adalah rasio yang paling sering digunakan. Pada rasio ini makanan akan tampak seperti “bubur” dan ini adalah petunjuk fisik yang bisa dijadikan acuan.

Berikut kajian ilmiah untuk meningkatkan kualitas makanan melalui proses pembasahan dengan melalui berbagai mekanisme.

1. Pembasahan berguna untuk mengaktivasi internal enzim yang terdapat dalam makanan (D’Mello dkk, 1985) sehingga proses pencernaan enzimatik terjadi sejak makanan belum dikonsumsi oleh ternak. Besar kemungkinan, ternak ayam telah mengkonsumsi nutrisi yang siap diabsorpsi sebagai akibat proses aktifasi enzim yang lebih awal. Ini akan memberikan keuntungan pada proses pencernaan makanan secara kesuluruhan di dalam saluran pencernaan ayam.

2. Ayam yang mengkonsumsi makanan yang basah berarti secara bersamaan mengkonsumsi air. Ini berarti kebutuhan akan air segar semakin berkurang. Manfaatnya, ayam akan mengurangi aktifitas minum atau mengurangi kunjungan ketempat minum. Pengurangan ini berakibat pada pengurangan energi yang digunakan untuk minum dan energi itu akan dikompensasi untuk energy pertumbuhan dan produksi. Hal ini berdampak besar bagi ternak ayam yang masih kecil, ternak ayam yang dipelihara didaerah tropis yang panas dan makanan yang mempunyai kemampuan mengikat air yang tinggi. Rasionalisasinya, Ayam kecil akan membutuhkan proporsional energi yang lebih besar untuk minum dibanding dengan ternak ayam besar, karena ayam kecil membutuhkan langkah lebih yang banyak menuju ketempat minum. Ternak ayam yang dipelihara di daerah tropis dan ternak yang mengkonsumsi makanan yang mempunyai kemampuan mengikat air yang tinggi, akan cenderung mengkonsumsi air yang lebih banyak. Dengan pembasahan, sebagain kebutuhan air akan terpenuhi, itu berarti efisiensi penggunaan energy untuk minum akan dicapai.

3.  Pembasahan makanan akan melarutkan karbohydrat yang larut dalam air, seperti beta glukan, xylan dan beta mannan. Pelarutan ini terjadi diluar saluran pencernaan yang berguna mengurangi nilai viskositas (kelekatan) makanan disaluran pencernaan (Pawlik dkkl., 1990). Makanan disaluran pencernaan yang mempunyai viskositas tinggi akan menghambat kerja enzim dalam saluran pencernaan. Proses penyerapan makanan di vili – vili usus halus juga terhambat karena adanya sifat melekat, dan ini akan menutupi vili – vili usus halus. Karena itu bisa dipahami kalau pembasahan dapat meningkatkan kecernaan dan absorpsi makanan.

4.  Perembesan air ke pori - pori makanan akibat pembasahan akan menyebabkanmakanan menjadi lebih lembut. Ini berarti bahwa energi yang digunakan untuk proses penggilingan makanan di gizzard menjadi lebih sedikit. Indikatornya terlihat dari kecilnya ukuran gizzard ayam yang mengkonsumsi makanan basah ketimbang kering (Burhanudin Sundu dkk., 2005). Berkurangnya proses penggilingan makanan di gizzard akan meningkatkan efisiensi penggunaan energi bagi ternak ayam.

Empat point diatas menunjukkan bahwa pembasahan merupakan alternatif untuk meningkatkan nilai gizi makanan bagi ternak ayam. Beberapa peneliti telah menunjukkan keampuhan metode ini. Bobot badan ayam, nilai efisienci makan dan daya cerna makanan meningkat akibat pembasahan.

Beberapa masalah yang berhubungan dengan pembasahan makanan adalah :

1. Tenaga dan waktu yang dibutuhkan jauh lebih banyak sebagai akibat adanya proses pembasahan. Bagi usaha perunggasan intensif, waktu dan tenaga kerja adalah cost. Karena itu analisis ekonomi menjadi niscaya untuk mempertimbangkan apakah tambahan produksi akibat pembasahan makanan sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Sayang sekali, tidak ada penelitian yang memfokuskan kearah aspek ekonomi dari pembasahan makanan untuk ternak ayam.

2. Belum adanya disain container makanan ayam yang bersifat komersial yang cocokuntuk makanan basah. Hampir semua tempat makanan ayam yang ada di pasaran di disain untuk makanan kering. Karena itu masalah ini akan menambah kerumitan tersendiri bagi peternak. Membiarkan makanan basah didalam tempat makan lebih dari satu hari akan menyebabkan makanan menjadi berjamur dan tempat bersarangnya bibit penyakit. Dengan desain yang kovensional seperti yang ada dipasaran, peternak dituntut untuk membersihkan tempat makan setiap hari plus mebuang makanan yang tersisa. Ini berarti sebuah pemborosan dan memakan waktu.

3. Ternak yang mengkonsumsi makanan basah cenderung memproduksi feces yang lebih basah. Ini sebuah permasalahan yang paling dibenci oleh peternak bukan hanya karena bau yang ditimbulkan oleh feces yang terlalu basah tetapi juga sebagai sarang perkembang biakan lalat.

Melihat manfaat dan kendala diatas, tampaknya harus usaha yang mesti dilakukan untuk meminimalkan kendala tanpa harus mengurangi keampuhan metode pembasahan makanan ini. Tiga masalah yang muncul yang bersentuhan dengan persoalan tehnis, ekonomi dan lingkungan telah menjadi issu penting bagi dunia perunggasan.

Ada beberapa alternatif solusi yang bisa meminimalkan dampak negatif dari pembasahan makanan dengan tetap menjadikan pertimbangan ekonomi sebagai panglima. Pembasahan makanan akan efektif  bila dilakukan bagi peternak unggas berskala kecil dimana tenaga kerja dianggap bukan merupakan masalah. Belum adanya disain tempat makan yang komersial sehingga berdampak pada pemebersihan rutin tempat makan dapat di atasi dengan cara pemberian makan yang mempertimbangkan kapasitas ayam untuk makan. Penambahan makanan dilakukan setelah seluruh makanan telah dikonsumsi sehingga pemborosan makanan dan pembersihan tempat makan dapat dihindari. Untuk mengatasi feces yang basah, penambahan Suplemen probiotik dan enzyme dalam makanan menjadi solusinya.

Solusi ini hanya sekedar meminimalkan dampak negatif dari proses pembasahan makan.
Dampak positifnya jauh lebih besar bagi pertumbuhan ayam dan peningkatan pendapatan peternak.


Sumber : Majalah Poultry Indonesia
readmore »»  

Pola Konsumsi Ransum Pada Unggas

Keberhasilan usaha peternakan unggas salah satunya dapat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor produksi dan pemasaran. Faktor produksi diantaranya adalah aspek pemberian pakan. 

SEBAGAI salah satu komponen produksi biaya pakan merupakan proporsi terbesar, yaitu mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Untuk menekan biaya pakan tersebut dan peningkatan efisiensi produksi, perlu mengetahui pola atau cara bagaimana kebiasaan unggas dalam mengkonsumsi ransum tersebut. 

Menurut Yunianta (1997), produktivitas unggas tidak terlepas dari kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi, dengan mengusahakan pakan tersebut dapat berfungsi secara optimal dan tidak berpengaruh negatif terhadap produktivitas dan kualitas produk (daging dan telur) yang dihasilkan. Pakan ternak yang berisi nutrien diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi, pertumbuhan, produksi, reproduksi dan hidup pokok (maintenance). Nutrien dalam pakan berdasarkan komposisinya, dikelompokkan menjadi enam yaitu air, karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin (Tillman et al., 1991). Pakan mempunyai arti penting dalam proses kehidupan unggas. Kebutuhan energi dan protein pada unggas sangat dtentukan oleh sifat produksi serta kebutuhan untuk hidup pokok (maintenance), yang secara fisiologis diatur oleh pusat kenyang dan lapar, sehingga konsentrasi energi dan protein dalam pakan ikut menentukan kemampuan konsumsi pakan.
 
Say (1987) mengemukakan bahwa unggas mengkonsumsi ransum yang terdiri atas unsur-unsur penting, bertujuan untuk pertumbuhan dan menghasilkan produksi berupa daging dan telur. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan ransum dan peningkatan produksi unggas, pemberian ransurn diupayakan seimbang, lengkap dan sesuai dengan kebutuhan ternak itu sendiri.
 
Mac Donald et al., (1980) mengemukakan bahwa makan merupakan aktivitas kompleks yang meliputi memilih pakan, mengolah pakan, memasukkan pakan ke dalam tubuh melalui proses sensoris yang dimulai dengan mengambil pakan dengan mulut atau paruh, dan mencerna dalam saluran pencernaan.
 
Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor - faktor yang mempengaruhi daya cerna bahan makanan di dalam tubuh unggas sangat perlu diketahui, hal tersebut berguna dalam mempertinggi efisiensi konversi ransum. Faktor-faktor tersebut meliputi suhu, laju perialanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan perbandingan dari zat makanan lainnya. Proses-proses tersebut ada hubungannya dengan aktivitas lapar dan kenyang untuk mengkonsumsi ransum pada unggas.
 
Pusat pengaturan proses makanan pada ternak (mamalia dan unggas) terletak di dalam hipotalamus, dekat dengan selebrum pada otak. Hipotalamus mempunyai dua pusat aktivitas, yaitu pertama pusat rasa lapar (hipotalamus lateral) yang menyebabkan ternak terangsang nafsu makanannya, dan yang kedua pusat rasa kenyang (hipotalamus ventromedial) yang menurunkan nafsu makan .
 
Secara teoritis pengaturan pola makan atau konsumsi ransum pada unggas, menurut Mac Donald (1987) dibedakan atas :

a).Teori Khemostatis.

Yaitu absorpsi nutrien dari saluran pencernaan dan cukupnya nutrien dalam sirkulasi darah merupakan tanda awal untuk merangsang pusat rasa kenyang. Nutrien tersebut meliputi glukosa, asam lemak bebas, peptida, asam amino dan asam lemak bebas sampai di usus halus atau duodenum, otak akan mengeluarkan hormon kolasistokinin yang berakibat penurunan nafsu makan.

b). Teori Thermostatis.

Teori ini menyatakan bahwa ternak akan makan untuk menjaga suhu tubuhnya, dan akan berhenti makan bila telah terjadi hypertemia panas yang dihasilkan selama terjadinya proses digesti dan metabolisme yang disebut heat increment yang merupakan, inisiator pengaturan konsumsi ransum. Kemampuan dan sensitivitas thermoreseptor dipengaruhi oleh pusat suhu (hipotalamus anterior) dan permukaan kulit. Yang menunjang teori ini adalah nafsu makan yang meningkat pada suhu dingin dan menurun pada suhu panas. Suhu di sekitar ternak dapat berpengaruh terhadap nafsu makan dan jumlah konsumsi ransum. Pada suhu lingkungan yang tinggi nafsu makan unggas akan menurun, sedangkan kebutuhan energi meningkat sebagai akibat dari bertambahnya frekwensi pernafasan, kerja jantung dan bertambahnya sirkulasi darah perifer.
 
Menurut Farrell (1979), konsurnsi pakan selain dipengaruhi oleh kandungan energi juga suhu lingkungan. Pada suhu lingkungan yang tinggi nafsu makan ayam akan menurun, akibatnya konsumsi pakan akan berkurang dengan akibat sampingannya berupa defisiensi gizi yang akhirnya akan mempengaruhi produksi. Untuk menanggulangi hal tersebut pemberian pakan dapat diatur sesuai pola dengan volume kebutuhan gizi dan tingkat energinya dapat dimanfaatkan secara menguntungkan.
 
Proses pencernaan
 
Fisiologi pencernaan unggas merupakan proses yang terjadi dari bahan pakan menjadi senyawa yang lebih sederhana untuk diabsorpsi dan dipakai oleh jaringan tubuh. Proses pencernaan bahan pakan pada ternak berlangsung secara mekanik. enzimatik kimiawi dan mikrobia. Proses pencernaan mekanik pada unggas berlangsung karena adanya konsentrasi otot-otot sepanjang saluran pencernaan. Proses pencernaan enzimatik / kimia terjadi dengan melibatkan enzim di sepanjang saluran pencernaan, sedangkan pencernaan mikrobia terutama pada ternak ruminansia besar terjadi pada rumen. Unggas mempunyai saluran pencernaan yang sangat pendek, kira-kira 60 inci, sehingga proses pencernaan berjalan sangat cepat (Pattrick dan Schaible, 1980).
 
Nikel et al., (1977) membagi sistem pencernaan utama terdiri atas mulut, pharinx, oesophagus, lambung, usus kecil, usus besar dan kloaka serta kelenjar pelengkap (asesoris), yaitu hati dan pankreas. Dalam proses pengambilan pakan oleh mulut, suliva unggas di samping menghasilkan Mucin yang berfungsi untuk melicinkan bahan pakan juga mengandung enzim amilase walaupun dalam konsentrase rendah.
 
Produksi saliva pada unggas dewasa sekitar 7-30 ml / jam, enzim amilase yang terdapat di dalamnya mempunyai aktivitas sampai tembolok dan ampela. Di dalam ampela akan teriadi proses pencernaan mekanik pakan berbentuk padat dengan adanya maserasi otot secara ritmik dibantu oleh adanya grit akan diubah menjadi bahan pakan yang berbentuk pasta.
 
Tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi otot ampela sebesar 500 lbs/inci persegi. Lama tinggal pakan di dalam ampela berbeda-beda bergantung kepada bentuk pakan. Pakan yang berbentuk bijian dan berukuran besar serta keras akan bertahan dalam ampela beberapa jam, sedangkan pakan berbentuk mash akan tinggal beberapa menit saja di dalam ampela (Moran, 1982).

 
Sumber : Suryana, Staf Peneliti Balai Pengkajian Teknology Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan
readmore »»  

Pigmentasi Kuning Antisipasi Masalah Jagung

 DARI banyak pigmen, lutein, canthaxanthin dan astaxanthin adalah yang paling dominan ditemukan pada unggas. Dibandingkan dengan tumbuhan mulai dari mikroorganisma seperti ganggang, jamur sampai tumbuhan tingkat tinggi yang dapat mensintesa carotenoid, maka hewan khususnya unggas sangat tergantung pada asupan pigmen yang diperolehnya lewat pemberian pakan.
 
Sumber utama pigmen yang biasa terdapat dalam pakan adalah jagung kuning dan alfalfa (rumput). Meskipun demikian, kandungan carotenoid dan xanthpohyll dari sumber‐sumber tersebut acapkali sangat bervariasi, tergantung jenis tanaman serta kondisi daerah tempat penanamannya. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa aktivitas pigmennya secara gradual menyusut selama proses penyimpanan. Pigmen zeaxanthin setelah penyimpanan 3 bulan akan mengalami penyusutan sehesar 20 %, lutein (73%) dan caroten (50 %).
 
Dalam kuning telur terdapat berbagai jenis carotenoid dalam tingkatan yang berbeda, dan masing‐masing berjumlah sedikit. Bapocarotenoid 35 %, canthaxanthin 20%, isozeaxanthin 11 % mendominasi pigmen dalam yolk, sementara ‐caroten yang paling sedikit (< 3 %). Tingkat kandungan pigmen dalam yolk menyebabkan variasi warna yolk mulai dan kuning pucat sampai oranye gelap. Yang mana kadar pigmen dideposit dalam yolk sangat tergantung dan kandungan pigmen dalam pakan. Tampilan warna yolk tidak hanya ditentukan oleh kadar pigmen tetapi juga tekanan warna (condong ke kuning — emas — oranye) yang pada dasamya merupakan kombinasi antara pigmen kuning dan pigmen merah.

Sejalan dengan warna yolk, pigmentasi kuning pada permukaan kulit karkas ayam menjadi salah satu faktor preferensi konsumen, meskipun tidak sedalam penilaian orang terhadap yolk. Lutein, zeaxanthin dan cryptoxanthin yang dikandung dalam pakan unggas diketahui efektif untuk meningkatkan pigmentasi kuning kulit broiler sedangkan pigmen neoxanthin dan violaxanthin tidak terlalu efektif terhadap proses pewarnaan pada kulit broiler. Pigmen alami yaitu xanthophyll yang sebagai pigmen kuning diperoleh dan ekstrak bunga marigold (Tagetes erecta) dan xanthophyll sebagai pigmen merah dan ekstrak lombok (Capsicum annumm).
Pigmen sintetik, diantaranya apo‐ester untuk pigmen kuning dan canthaxanthin untuk pigmen merah. Dan penelitian yang menggunakan kedua jenis pigmen (alami dan sintetik) yang ditambahkan dalam pakan dengan dosis tinggi dan rendah, untuk mengukur pengaruhnya terhadap pigmentasi kulit broiler menunjukkan bahwa meskipun pigmen sintetik dicerna lebih baik tetapi pigmen alami lebih efisien dibandingkan pigmen sintetik dalam meningkatkan warna kekuningan pada kulit. Yang kemungkinan disebabkan adanya perbedaan dalam metabolisme deposisi dan kedua tipe pigmen.
 
Proses metabolisme carotenoid berbeda di antara hewan termasuk prioritas jenis carotenoid yang diserap dalam sistem pencernaan. Sebagian besar carotenoid diserap di bagian atas usus halus bersama dengan senyawa lemak lainnya. Pada unggas xanthophyll diserap dalam saluran gastrointestin menyatu dengan lipoprotein densitas rendah (LDL). Kebanyakan mamalia menyerap terutama carotene dan sedikit xanthophyll, sedangkan unggas terutama menyerap xanthophyll. Setelah diserap, caroten masuk dan diangkut dalam sirkulasi darah sebagai kompleks hidrophilik lipoprotein. Untuk selanjutnya dalam jumlah besar disimpan dalam kulit, bulu, jaringan lemak, dan kuning telur.
 
Deposisi carotenoid bisa dalam bentuk yang tidak berubah atau dikonversi lewat berbagai jalur metabolik ke dalam bentuk canthaxanthin, astaxanthin atau guraxanthin. Bentuk xanthophyll diketahui dominan terdapat pada kulit, jaringan lemak, dan kuning telur. B‐caroten setelah diserap akan menjalani proses transformasi menjadi vitamin A sehingga bagi unggas (ayam petelur), ‐caroten tidak mempunyai arti yang nyata untuk membantu pigmentasi kuning pada yolk.
 
Sumber-sumber carotenoid diperoleh unggas dari pakan. Tingkat kandungan xanthophyl dalam pakan berkorelasi erat (meskipun tidak linier) dengan banyaknya deposit pigmen tersebut dalam bagian tubuh unggas, sampai pada tingkat tertentu tidak ada lagi respon meskipun xanthophyll diberikan semakin besar. Jika kadar pigmen pakan meningkat demikian juga kadar pigmen dalam yolk. Untuk menaikkan intensitas warna kuning yolk dan skala 3 ke skala 4 (pada skala kipas Roche Color Fan /RCF) dibutuhkan peningkatan 1 mg/kg suplementasi pigmen kuning, dan skala 4 ke 5 dibutuhkan tambahan 5 mg/kg suplementasi pigmen, dan perbaikan warna yolk dan skala 9 ke 10 harus memberikan tambahan 10 mg/kg pigmen ke dalam pakan.


Tabel 1. Kandungan pigmen dalam bahan baku beserta kisarannya.
Pada umumnya, suplementasi xanthophyll diperoleh dan bahan baku (pigmen alami) dengan menetapkan batas minimum kandungan xanthophyl pakan (> 15 mg/kg). Pada kondisi normal (ayam sehat, bahan haku normal) kombinasi pakan yang dapat memenuhi suplai xanthophyl pada tingkat 15 mg/kg sudah memberikan warna kuning telur di kisaran 5 -7 pada skala RCF.
 
Sejalan dengan upaya mengurangi ketergantungan pada jagung dan mengurangi secara bertahap tingkat penggunaan jagung (dan produk ikutannya) dalam pakan, maka suplai pigmen dalam pakan bisa saja bermasalah. Suplementasi pigmen mutlak dilakukan ke dalam pakan yang berbasis non jagung seperti sorghum/bungkil kedele. Sumber pigmen alami yang biasa digunakan antara lain ekstrak paprika (Capsicum annuum) (xanthophyll merah), ekstrak marigold (xanthophyll kuning), ganggang hijau (asthaxanthin, canthaxanthin), dIl.
 
Kadar pigmen 30 mg/kg meningkatkan warna kemerahan, kekuningan dan skore warna pada RCF baik pakan yang 100 % pigmen nya berasal dan suplementasi marigold, sampai 20 dan 40 % nya disubstitusi dengan pigmen capsicum. Jika dilakukan substitusi 20 % dan 40 % suplementasi tersebut dengan xanthophyll merah dan ekstrak capsicum pada tiap tingkat suplementasi, diketahui tidak memberikan efek nyata dalam pewarnaan (pada shank).
 
Ada kecenderungan meningkatnya intensitas warna kemerahan jika persentase substitusi dengan capsicum ditingkatkan. Penambahan pigmen merah capsicum dengan tidak mengurangi konsentrasi xanthophyl kuning dan marigold akan menghasilkan warna pigmentasi kulit broiler yang lebih dalam. Kelihatannya penambahan xanthophyll merah ke dalam pakan ayam petelur paling efektif untuk meningkatkan warna yolk dan pigmentasi warna kulit broiler.
 
Pada umumnya pakan yang disusun menggunakan jagung, bahan ikutan jagung dan alfalfa normalnya mengandung pigmen lutein dan zeaxanthin. Maka hanya dua pigmen tersebut yang bertanggung jawab terhadap hasil pigmentasi. Mengingat kandungan xanthophyll tersebut sangatlah variatif dan penggunaannya pun relatif kurang efisien, maka kemungkinan timbulnya variasi dalam pigmentasi produk unggas masih cukup besar. Bagi telur yang ditujukan untuk pemanfaatan spesifik maka biasanya ditambahkan sumber-sumber zanthophyll baik dan sumber alami ataupun sintetik. Penggunaan pigmen sintetik canthaxanthin memberikan peluang untuk meningkatkan warna pada produk‐produk unggas. Dosis 6 mg/kg xanthophyll kuning sudah cukup untuk memperoleh skor di atas 10 pada kipas warna RCF. Efektivitas pengaruh pigmentasi antara pigmen alami dan pigmen sintetik adalah setara dengan 1,3: 1 untuk hasil yang kurang lebih sama.
 
Pigmen sintetik berdasarkan aktivitas pewarnaan sesuai dengan karakter pigmen yang dikandungnya digolongkan dalam 3 tipe yaitu pigmen kuning (apocarotenoic ester), merah (canthaxanthin) dan orange (campuran apocarotenoic ester dan canthaxanthin). Dibandingkan bentuk alami yang berasal dan tanaman dengan kandungan serat kasar tinggi, pigmen sintetik yang terbalut gelatin lebih mudah diserap dan tersedia dalam penyerapan saluran pencernaan dan deposisinya pada yolk.
 
Pengaruh pewarnaan antara pigmen kuning dan merah adalah herbeda. Jika penambahan pigmen kuning secara gradual akan meningkatkan intensitas warna kuning (kuning pekat) maka pigmen merah akan mengarah pada warna kuning keemasan. Efek penambahan pigmen pada akhirnya sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain :
  • Kadar total pigmen dalam pakan,
  • Komposisi bahan baku pakan,
  • Faktor genetik dan unggas,
  • Tingkat konsumsi pakan per satuan telur yang dihasilkan,
  • Umur ayam yang berproduksi, dan
  • Status kesehatan dari ayam itu sendiri.

Sumber tulisan karya : Sitharja Wanasuria  
readmore »»